Bahkan, kebijakan pengetatan di negeri kota ini tidak hanya mampu mengendalikan gelembung properti, tetapi juga vital untuk kebijakan moneter nasional.
Direktur Pelaksana Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore), Ravi Menon, mengatakan hal tersebut dalam ajang Asian Monetary Policy Forum.
Dia mengungkapkan, pengetatan berupa langkah-langkah makroprudensial bersifat sementara dan hanya akan digunakan bila diperlukan.
"Situasi saat ini sangat tidak biasa. Kita tidak harus jatuh ke dalam perangkap lebih jauh. Percayalah bahwa langkah-langkah kebijakan inovatif yang diambil sekarang ... merupakan dasar bagi paradigma baru di masa depan," kata Menon.
Singapura telah menerapkan kebijakan pengetatan dalam delapan putaran, mencakup pembatasan tenor pinjaman maksimum hingga 35 tahun, mengelompokkan rasio total utang (total debt servicing ratio/TDSR) sebesar 60 persen, dan pembatasan eksposur properti terkait bank sebesar 35 persen dari pinjaman secara keseluruhan.
Sementara untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dengan tenor kurang dari 30 tahun, rasio pinjaman terhadap aset yang diagunkan (loan to value/LTV) tetap pada angka 80 persen untuk pinjaman pertama, 50 persen untuk pinjaman kedua, dan 40 persen untuk pinjaman ketiga. Untuk utang lebih dari 30 tahun, rasio LTV dikurangi menjadi masing-masing 60 persen, 30 persen, dan 20 persen.
Menariknya, Singapura adalah salah satu pelopor dari inisiatif pengetatan ini dan memperkenalkannya sejak awal 1996. Negara-negara Asia lainnya yang memberlakukan pembatasan serupa adalah Tiongkok, Korea, Malaysia, dan Hongkong.
Selain itu, Singapura juga memperkenalkan kebijakan fiskal, seperti bea materai pembeli sebesar 18 persen dan bea materai penjual menjadi 16 persen untuk transaksi properti yang bertujuan mengekang tumbuhnya praktik-praktik berbau spekulasi.