BANDUNG, KOMPAS.com - Peneliti Indonesia, sejatinya tak kalah dengan kolega mereka di mancanegara. Bahkan beberapa di antaranya berhasil mengungkapkan temuan dan gagasan penyempurna yang jika dikembangkan lebih lanjut akan berdampak luas terhadap daya saing Indonesia di masa depan.
Salah satu gagasan menarik tersebut adalah penggunaan abu terbang (fly ash) dengan volume tinggi dalam pekerjaan beton untuk struktur jembatan. Temuan tersebut dipresentasikan pada acara Kolokium yang digelar Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum, pekan lalu, di Bandung.
Sang penemu, Rulli Ranastra Irawan, menjelaskan bahwa saat ini beton masih menjadi pilihan utama sebagai bahan baku pembangunan infrastruktur. Padahal, penggunaan abu terbang ternyata bisa menekan biaya sekaligus memitigasi lingkungan. Teknologi ini tidak hanya aplikatif, namun juga ramah lingkungan.
"Penggunaan abu terbang (fly ash) sebagai bahan tambah dalam pembuatan beton memiliki banyak keuntungan, baik secara ekonomis, lingkungan, dan meningkatkan kualitas beton," ujar Rulli Ranastra Irawan seperti tertuang dalam makalahnya.
Itulah, alasan abu terbang banyak digunakan di Amerika Serikat. Menurut survei yang dilakukan oleh Asosiasi Nasional Beton Siap Pakai di Amerika Serikat, 39 persen produsen beton menggunakan abu terbang sebagai bahan tambah mineral.
Abu terbang merupakan sisa produk penggunaan batu bara. Di Indonesia, batu bara masih banyak digunakan. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup 2006, limbah abu terbang dari batu bara yang dihasilkan mencapai 52,2 ton/hari, sedangkan limbah bottom ash mencapai 5,8 ton/hari. Rulli menyatakan, dari jumlah tersebut, 60 persen abu terbang yang dihasilkan telah dimanfaatkan oleh industri (data dari PLN TJB, 2010). Menggunakan abu terbang, sama artinya dengan mengolah limbah.
Hanya saja, penggunaan abu terbang masih harus diperhatikan dengan seksama. Pasalnya, harus ada tindakan khusus untuk memastikan jumlah penggunaan bahan tambah yang tepat. Selain itu, tidak semua abu terbang punya aktivitas pozzolanic cukup untuk memberikan hasil yang baik dalam beton.
Abu terbang pun tidak selalu tersedia di dekat lokasi konstruksi. Jika ini terjadi, justru akan menambah biaya. Kemudian, kemungkinan komposisi abu terbang pada tiap campuran beton pun tidak sama.
Apa pun itu, Indonesia sangat membutuhkan gagasan tentang jalan dan jembatan yang aplikatif. Kebutuhan ini datang dari keinginan meningkatkan daya saing Indonesia di kancah internasional, dan memperkuat ketahanan pangan dan perekonomian nasional.
Herry mengungkapkan, isu yang santer terdengar dan dibahas dalam kolokium adalah pengembangan teknologi jalan dan jembatan, sekaligus isu lingkungan. Selain itu, peserta kolokium juga didorong untuk menemukan cara pengelolaan pembangunan infrastruktur yang ramah lingkungan dan memanfaatkan sumber daya lokal.