Demikian dikemukakan Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda, dalam siaran pers di Jakarta, Sabtu (29/3/2014). Dengan penataan yang baik, lanjut Ali, koridor TB Simatupang akan tetap dapat tumbuh menjadi central business district (CBD) sekunder yang mungkin akan bersama-sama dengan berkembangnya sentra primer Jakarta Barat.
Ali mengatakan, wilayah TB Simatupang dalam setahun terakhir telah menjadi incaran para pelaku bisnis properti. Posisinya yang relatif dekat dengan Pondok Indah serta memadainya aksesibilitas tol menjadikan wilayah ini strategis.
Dalam dua tahun ke depan, Ali menambahkan, diperkirakan akan muncul 16 proyek baru dengan total luas lebih kurang 200.000 m2. Sementara itu, berdasarkan data Colliers International Indonesia, seperti pernah dipaparkan Kompas.com, hingga 2016 mendatang setidaknya terdapat 33 gedung perkantoran akan berdiri di sini.
"Pamor TB Simatupang bersinar diperkirakan karena belum ada lagi wilayah-wilayah lain yang dapat menjadi pemekaran dari CBD Jakarta. Sentra Primer Jakarta Barat pun belum menunjukkan perkembangan yang signifikan, meskipun secara lokasi tidak kalah dengan TB Simatupang," kata Ali.
Akses jalan tol menjadi faktor utama berkembangnya TB Simatupang, namun tidak disertai dengan kondisi ebar jalan di jalan arterinya. Dengan semakin menumpuknya gedung perkantoran dan apartemen di sini, maka dikhawatirkan beban jalan menjadi tidak memadai, belum lagi banyaknya penyempitan jalur jalan di beberapa titik. Saat ini saja telah terjadi kemacetan.
Pergerakan harga tanah di TB Simatupang pun pesat. Saat ini harga tanah bervariasi antara Rp. 25 – 45 juta/m2. Kenaikan harga tanah saat ini menjadi terlalu tinggi mengingat sebenarnya wilayah TB Simatupang merupakan wilayah resapan dengan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) rendah antara 20% atau paling tinggi 40%.
"Dengan harga yang tinggi menjadikan investasi disini harus diwaspadai, karena harga akan menjadi terlalu tinggi. Pemprov DKI Jakarta pun seharusnya lebih ketat dalam memberikan izin karena berkaitan dengan daerah resapan. Karena disinyalir ada beberapa gedung di sana yang melewati batas KDB yang ada," ujar Ali.
Area konservasi
Sebetulnya, jauh sebelum Ali menegaskan pendapat tersebut, Kompas.com sudah lebih dulu mengupas kekhawatiran merosotnya kualitas lingkungan di koridor TB Simatupang. Hal tersebut menjadi pembahasan utama Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP), Bernardus Djonoputro, pada RICS ASEAN Real Estate and Infrastructure Summit di Jakarta, Selasa (25/2/2014) lalu.
Menurut Bernardus, masifnya pembangunan properti komersial di koridor Simatupang merupakan rapor merah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang tak bisa mengendalikan tata ruang wilayahnya (Baca: Cukup... Stop Pembangunan di Koridor Simatupang!).
"Mereka tidak sanggup mencegah konversi lahan hijau di sana sebagai area konservasi. Akhirnya jalan pintas ditempuh, yakni melakukan pemutihan lahan dari sebelumnya area konservasi air menjadi kawasan komersial," ungkap Bernardus.
Aksi pemutihan lahan tersebut kemudian membuat koridor ini berubah wajah menjadi pusat pertumbuhan properti komersial baru. Berdasarkan data Colliers International Indonesia, hingga 2016 mendatang setidaknya terdapat 33 gedung perkantoran akan berdiri di sini. Padahal, lanjut dia, alihfungsi lahan sangat berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan.
Saat ini, kawasan selatan Jakarta itu sudah dialokasikan untuk permukiman. Dengan perubahan peruntukkan tersebut, kualitas lingkungan di kawasan ini terus merosot. Berkurangnya debit air tanah, kemacetan parah, buruknya kualitas udara adalah dampak langsung dari pengembangan sporadis di wilayah ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.