Menurut Pengurus Paguyuban Rusunami Kemanggisan, Valentino, digandengnya Yusril ialah untuk menuntaskan masalah hak konsumen pasca-putusan pailit.
"PT Mitra Safir Sejahtera (MSS) selaku pengembang lama rusun itu tidak membagi harta pailit secara adil. Kita sebagai konsumen hanya mendapatkan 15 persen saja. Padahal, seluruh konsumen memberi kontribusi paling besar kepada pundi-pundi MSS, yaitu Rp 102 miliar," kata Valentino, dalam aksinya, di Kemanggisan, Jakarta, Rabu siang (19/2/2014).
Pengamat properti dari Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda, menegaskan, pemerintah harus intervensi. Pasalnya, kasus ini bukanlah kasus kecil. "Kami menyerukan DPR, Kemenpera, Kemenhuk dan HAM segera menelusuri dan melakukan investigasi terkait kasus ini. Bayangkan, sebanyak 520 konsumen saat ini tidak menentu haknya. Di sisi lain unit-unit mereka telah dijual kembali oleh pengembang baru. Jangan sampai hal ini menjadi preseden buruk bagi peradilan dan keadilan di negeri ini," ujar Ali, Kamis (20/2/2014).
Ali juga menengarai putusan pailit MSS mengandung kejanggalan karena sampai sejauh ini belum terbukti dari neraca pailit yang menggambarkan gagalnya kewajiban membayar debitur MSS. Konsumen masih mencicil bahkan ada yang sudah melunasi angsuran KPA BTN.
"Selain itu, mereka memanfaatkan kelemahan UU No 37 Tahun 2004. Fakta Hakim Pengawas pada Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) yang berujung pada kepailitan MSS adalah sama dengan hakim pengawas pada kasus nasabah Bank BTN lainnya yang dipailitkan, yakni Kasianus Telaumbanua. Begitu juga kuratornya dari Law Firm Tandra & Associates," tandas Ali.
Jelas, kasus tersebut membuat calon konsumen harus meningkatkan kewaspadaan dan teliti sebelum membeli properti. Alih-alih mendapat hunian impian, malah buntung kemudian.
Ketua Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia, Erwin Kallo, mengatakan, sebelum membeli properti, konsumen harus memiliki informasi yang cukup mengenai sepak terjang pengembang, dan pengetahuan tentang properti yang akan dibeli.
"Dua hal itu yang utama selain harga dan lokasi," ujar Erwin.
Rekam jejak dan reputasi pengembang, lanjut Erwin, sangat penting. Pengembang yang tidak bisa membangun tuntas proyeknya bisa dikategorikan pengembang nakal. Kendati mereka memiliki portofolio lainnya yang sukses terbangun.
"Jangankan proyek mangkrak, proyek sudah rampung namun mereka tidak mampu memecah sertifikat saja bisa dikategorikan sebagai pengembang nakal. Kasus pecah sertifikat hak milik (SHM) juga mendominasi sengketa properti tahun 2013," imbuhnya.
Merujuk kategori yang dikemukakan Erwin Kallo, MSS, bisa dikategorikan sebagai pengembang nakal karena tidak bisa menyelesaikan proyek yang sudah dimulainya. Timbul pertanyaan besar, siapakah pengembang ini? Bagaimana sepak terjangnya? Siapa aktor yang mengendalikannya?
Dari penelusuran Kompas.com, terungkap bahwa MSS dimiliki dan dikelola oleh Tirta Susanto. Ia diketahui pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) saat diketuai oleh Fuad Zakaria.
Selain Kemanggisan Residence, Tirta juga menggarap proyek serupa lainnya, yakni Kalimalang Residence, Soekarno-Hatta Residence, dan beberapa proyek berupa kavling siap bangun lainnya. Dari sejumlah proyek tersebut, tak satu pun yang tuntas konstruksinya.
Soekarno-Hatta Residence yang dikembangkan melalui bendera berbeda, yakni PT Titian Sakti, juga bernasib serupa. Padahal, proyek ini digadang-gadang sebagai proyek terintegrasi, terdiri atas lima menara rusunami setinggi 12 lantai dan beberapa klaster hunian tapak.