"Saya sangat terheran ketika melihat kelas menengah yang saya datangi itu. Di Perancis itu kita memiliki pasar barang-barang bekas akhir pekan. Kita bisa membeli barang lama. (Orang-orang) Inggris dan Perancis suka mencampur perabot mereka dari yang lama dan baru," ujarnya.
Hal tersebut ternyata berbeda dengan di Asia tenggara. Huguir mencontohkan di Indonesia dan Malaysia. Yang dia temukan, hanya penduduk kaya yang menggunakan barang-barang antik.
"Di kelas menengah tidak ada perabot tersebut. Padahal, itu menunjukkan akar budaya mereka. Mereka sangat mengikuti apa yang ditawarkan di shopping mall dan di televisi. Feeling-nya itu sudah tidak ada. Bahkan, bunga juga plastik," ujarnya.
Kecenderungan di seluruh dunia
Ternyata, kecenderungan menggunakan perabotan baru yang sama sekali tidak menampilkan karakter budaya tidak hanya terjadi di Asia. Menurutnya, siapa pun orang di seluruh dunia kini lebih tertarik menyamakan rumahnya pada tata ruang di hotel, di restoran, ketimbang tata ruang tradisional.
"Saya lebih suka lihat rumah yang berantakan daripada melihat rumah yang seperti bisa kita lihat di majalah, tata interior yang bisa ditemui di dunia," ujar Huguier.
"Contohnya, kalau di kulkas ada banyak magnetnya, dari sana bisa kita lihat jiwanya keluarga itu. Walaupun berantakan, kita bisa merasakan kalau ada orang yang tinggal di sana," imbuhnya.
Menurut Huguier, dengan menumpuk barang-barang di rumahnya, keluarga-keluarga ini memajang sejarah mereka.
"Saya bisa melihat sejarah mereka melalui barang-barang mereka," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.