Mengawali tahun yang baru, pandangan serta karya-karya Huguier mungkin bisa memberikan cakrawala baru bagi Anda. Tidak hanya membicarakan mengenai pengalaman, karya foto, dan makna rumah baginya, Huguier juga mengajak kita semua melucuti ego. Berikut petikan wawancara KOMPAS.com dengan Huguier di Institut Francais Indonesia (IFI), Jakarta, akhir Oktober lalu.
"Saya memulai pada 1974. Saya mulai suka memotret pada setiap akhir pekan," ujar Huguier.
Siapa sangka, perempuan dengan senyum yang terkadang tersembunyi dalam raut muka serius tersebut bersedia terbuka menjawab pertanyaan apa saja. Dia juga dengan senang hati membagi pengalaman di balik hasil jepretannya.
Bagi kebanyakan orang Indonesia, melihat foto yang menampilkan lekuk tubuh manusia adalah hal baru, bahkan tabu. Di belahan lain dunia ini tampaknya lebih terbuka dan jujur dalam soal seksualitas. Karena itu, Huguier pun berkesempatan memotret berbagai macam orang, baik perempuan maupun laki-laki, baik mengenakan busana, maupun polos tanpa sehelai kain pun di tempat yang memang menjadi hidup mereka.
Huguier menceritakan pengalamannya mengembara ke negara-negara di Asia Tenggara dan berbagai lokasi lain di dunia. Pengalaman pertama datang ke Indonesia dan Malaysia rupanya begitu membekas. Hingga saat ini, ketertarikan tersebut pun belum luntur.
"Pada zaman itu, yang membuat saya tertarik adalah seni populer. Di Bali ada semacam persembahan, pahatan dari nasi dan gula. Saya juga tertarik dengan papan iklan yang ada di bagian belakang becak," kenangnya.
"Seni populer dikerjakan oleh orang yang bukan seniman, tapi mereka memiliki bakat. Mereka tidak mendapat pengakuan sebagai seniman, tapi mereka berbakat," ujarnya.
Huguier menceritakan bahwa pada tahun 1977 dia sampai ke Bali dan melihat karya-karya unik di bagian belakang becak. Di sana ada gambar iklan sabun, rokok, bahkan restoran. Tidak seperti sekarang, iklan pada zaman itu merupakan hasil lukisan yang unik. Tidak hanya berhenti di Bali, Huguier pun pergi ke Pulau Sumatra. Itulah momen Huguier melihat dan jatuh cinta pada rumah-rumah adat.
Ketertarikan pada rumah daerah
Ketertarikan Huguier pada interior rumah dan nuansa yang ada di dalamnya bermula dari pekerjaan di majalah desain interior, Marie Claire Maison.
"Di Malaysia, saya memotret tirai-tirai toko dari bambu yang dicat iklan-iklan China. Biasanya itu untuk mempromosikan obat. Grafiknya sangat indah, sekarang sudah tidak ada lagi," ujarnya.
Sementara itu, dalam mengabadikan berbagai hal yang berhubungan dengan tempat tinggal seseorang, Huguier harus melucuti egonya. Setiap pemilik rumah tentu memiliki ketertarikan dan kecenderungan tersendiri dalam mendekor, mengatur, dan cara hidupnya. Hal ini begitu tampak dalam karya-karya Huguier pada periode 2000-an hingga saat ini.
Menurutnya, selama 20 tahun belakangan ini Asia, khususnya Asia Tenggara, berkembang pesat. Cara hidup kebarat-baratan yang dipadu dengan budaya setempat membuat setiap hunian di Asia Tenggara tampil menarik. Terutama, lanjut dia, penduduk kelas menengah yang mampu membeli barang sesuai keinginan mereka.
"Tahun 2007 saya ke Kamboja. Saya mulai tertarik dengan kelas menengah di Asia. Dulu, memang saya pernah ke Asia Tenggra. Saya tahu (Asia Tenggara) sedang berkembang. Kalau ada pembangunan, pasti ada perkembangan penting kelas menengah. Saya mendatangi Singapura, Bangkok, dan Kuala Lumpur. Vietnam, Laos, Myanmar tidak saya pilih karena kelas menengahnya sangat kecil," ujar Huguier.
"Kalau dari segi geografis, saya ingin memusatkan pikiran pada ujung Asia," imbuhnya.
"Saya sangat terheran ketika melihat kelas menengah yang saya datangi itu. Di Perancis itu kita memiliki pasar barang-barang bekas akhir pekan. Kita bisa membeli barang lama. (Orang-orang) Inggris dan Perancis suka mencampur perabot mereka dari yang lama dan baru," ujarnya.
Hal tersebut ternyata berbeda dengan di Asia tenggara. Huguir mencontohkan di Indonesia dan Malaysia. Yang dia temukan, hanya penduduk kaya yang menggunakan barang-barang antik.
"Di kelas menengah tidak ada perabot tersebut. Padahal, itu menunjukkan akar budaya mereka. Mereka sangat mengikuti apa yang ditawarkan di shopping mall dan di televisi. Feeling-nya itu sudah tidak ada. Bahkan, bunga juga plastik," ujarnya.
Kecenderungan di seluruh dunia
Ternyata, kecenderungan menggunakan perabotan baru yang sama sekali tidak menampilkan karakter budaya tidak hanya terjadi di Asia. Menurutnya, siapa pun orang di seluruh dunia kini lebih tertarik menyamakan rumahnya pada tata ruang di hotel, di restoran, ketimbang tata ruang tradisional.
"Saya lebih suka lihat rumah yang berantakan daripada melihat rumah yang seperti bisa kita lihat di majalah, tata interior yang bisa ditemui di dunia," ujar Huguier.
"Contohnya, kalau di kulkas ada banyak magnetnya, dari sana bisa kita lihat jiwanya keluarga itu. Walaupun berantakan, kita bisa merasakan kalau ada orang yang tinggal di sana," imbuhnya.
Menurut Huguier, dengan menumpuk barang-barang di rumahnya, keluarga-keluarga ini memajang sejarah mereka.
"Saya bisa melihat sejarah mereka melalui barang-barang mereka," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.