KOMPAS.com - Vanessa Quirk, kontributor situs arsitektur Archdaily membuat sebuah artikel menarik mengenai arah desain bangunan sekolah yang seharusnya belajar dari tindak-tanduk dan kebutuhan pengguna, yaitu anak-anak.
Dalam artikel tersebut, Quirk menjabarkan beberapa hal. Dia memulainya dengan hal yang paling jelas terlihat, yaitu kebiasaan anak-anak. Anak-anak usia taman kanak-kanak dan sekolah dasar, menurutnya, suka memanjat, berlari, dan menggapaikan tangan mereka ke benda-benda pecah belah. Mereka suka berimajinasi dan mengeksplorasi dunia yang ada di sekelilingnya.
Ketika mendesain sebuah ruang kelas, arsitek dengan tekun sadar pentingnya kondisi fisik lingkungan kegiatan belajar-mengajar (suhu udara, tingkat kepenuhan kelas, bahkan posisi ruang kelas tersebut dalam masyarakat) pada fisik anak. Bagaimana pun juga, sebesar mungkin kita bertopang pada hasil studi untuk membantu mendesain lingkungan yang tepat, apa yang kita butuhkan adalah perspektif praktis dan menyenangkan. Perspektif yang mengerti hal-hal yang menyenangkan dan mampu menarik keingintahuan anak.
Berdasarkan hal tersebut, ada baiknya para arsitek belajar dari taman bermain. Setidaknya, itulah yang digarisbawahi oleh Quirk. Taman bermain sudah berhasil menarik minat anak-anak. Secara visual, anak-anak ini tertarik pada warna dan skala benda-benda di dalamnya. Hingga saat ini, sudah ada sekolah-sekolah yang memasukkan warna-warni menarik dalam dekorasinya. Hanya, ada lebih banyak hal yang sebenarnya bisa dilakukan ketimbang hanya menyertakan warna.
Quirk mencoba mengajak pembacanya untuk tidak hanya terpaku pada warna. Cobalah memperhatikan tata ruang dalam taman bermain. Tata ruang ini, sebenarnya menawarkan lebih banyak inspirasi. Coba tengok Discovery Charter School di Newark, New Jersey. Sekolah tersebut menawarkan penataan fleksibel, sekolah dengan satu ruang yang tampak seperti taman bermain. Para murid dan guru di sana menyebutnya sebagai "skenario luas". Sebutan unik bagi ruang yang tidak disekat dengan beton, namun dibagi menurut "workstation". Setiap "workstation" dibagi berdasarkan warna, meja yang bisa digeser, dan partisi rendah.
Namun, ternyata tidak sesederhana itu. Pengaturan tata ruang yang eksperimental mungkin bisa diaplikasikan dalam sekolah berskala kecil. Akan tetapi, bagi sekolah berukuran kecil yang sangat ramai, model satu ruang tidak akan cukup. Anak-anak butuh lorong-lorong terbuka yang terorganisasi, membuat mereka bebas berpindah dari satu ruang ke ruang lain, namun masih dalam pengawasan guru. Itulah ide di balik taman kanak-kanak berbentuk oval, Fuji-Kinderganten di Tokyo, Jepang.
Sama seperti taman kanan-kanak di Jepang tersebut, mendesain sekolah yang tampak "di luar pakem" butuh keberanian untuk mengambil risiko. Quirk mengutip Mary Gutmann, professor sejarah arsitektur di City College dalam artikel New York Times. "Tujuannya adalah untuk jatuh. Anda tidak mau membuat lingkungan yang terlalu aman dan terasa tidak menantang," ujar Gutmann. Sama seperti taman bermain yang memiliki permainan memanjat, risiko anak dapat terjatuh memang diharapkan. Namun, ada rencana pendukung. Skema untuk menanggulangi risiko tersebut dan memperbaikinya (risk dan recovery) harus tersedia. Misalnya, ada panjatan dan ada tempat beristirahat.
Tidak hanya mendorong para desainer menyediakan permainan yang menstimulasi pergerakan anak di dalam ruang kelas. Ternyata, Quirk juga menggarisbawahi pentingnya menyediakan ruang untuk anak menyendirI, meski tidak dalam waktu lama. Membuat terowongan bermain di ruang kelas mungkin tidak efisien, tapi membangun "lofted nook" bisa jadi solusi tersendiri. Sekolah bisa menyediakan ruang privat dan semi privat bagi anak.
"Dengan memeriksa ruang fisik taman bermain, kita membuka diri kita sendiri untuk mendesain sebuah sekolah berdasarkan pada prinsip permainan, sebuah ruang yang tidak dibatasi oleh ekspektasi orang dewasa, di mana anak berinteraksi dengan dunia dengan cara mereka sendiri. Jika tujuan pendidikan abad 21 adalah mencapai kreativitas maka desain sekolah di masa depan harus melihat pada taman bermain untuk menciptakan lanskap bermain (playscape) dan bukan lanskap untuk belajar," tandas Quirk. Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.