Selain itu, perubahan tarif BBM dan momentum natural seperti Ramadhan dan Lebaran, sedikit banyak mempengaruhi keputusan pasar untuk membeli properti. Sebelumnya, aturan Bank Indonesia yang memberlakukan Loan to Value (LTV) berupa batas pemberian kredit sebanyak 70 persen, juga secara efektif memaksa kelas menengah mengambil aksi wait and see. Keempat faktor tersebut dianggap sebagai "pengendali" atau "tali kekang" akselerasi laju pertumbuhan properti Indonesia.
Praktisi bisnis properti, Matius Jusuf, mengatakan bisnis properti di Indonesia sudah kebal krisis. Belajar dari pengalaman 1998 lalu, pasar lebih berhati-hati. Pengembang pun memiliki strategi khusus agar dapat menciptakan peluang-peluang baru sehingga produknya terserap pasar secara maksimal.
"Tahun ini mirip kondisinya dengan 2004-2006 yang merupakan momentum bagi pengembang untuk membangun dan menjual propertinya (seller's market). Tahun 2014 adalah masa penyelesaian proyek. Sedangkan 2015 masa puncak di mana pengembang tinggal memetik keuntungan dari hasil penjualan selama 2013 dan 2014," papar Matius kepada Kompas.com, di Jakarta, Rabu (3/7/2013).
Dalam perspektif jam properti, Indonesia sekarang berada pada "pukul 09.00" menuju "pukul 10.00". Saat-saat seperti itu merupakan waktu yang tepat dan harus dimanfaatkan secara maksimal oleh pengembang, pembeli dan investor properti. Suku bunga KPR masih rendah, rata-rata satu digit, pertumbuhan ekonomi positif berada pada angka 6,2 persen, dan tingkat inflasi yang masih bersahabat.
Menurut Matius, jam properti akan terus berdetak dengan kecepatannya sendiri. Hanya ada dua pilihan, memanfaatkannya dengan maksimal atau diam tak bergerak menuju siklus puncak. Karena setelah 2015, pasar kembali kepada kondisi tahun 2007-2008 menuju kelesuan. Saat itu, target penjualan seluruh pengembang mengalami revisi untuk tidak dikatakan meleset. Harga jual properti terkoreksi beberapa persen. Namun, kondisinya tidak separah Eropa dan Amerika. Pasar masih dapat menyerap pasok yang ada.
"Dengan fakta seperti itu, Indonesia sebetulnya kebal krisis dan kondisi pasar menuju puncak cenderung akan berjalan lancar. Mempertimbangkan sejarah panjang bisnis ini pasca krisis 1998," ungkap Matius.
Pendek kata, 2013 adalah masa krusial sekaligus kritikal. Inilah saatnya membangun properti sesuai kebutuhan pasar. Disparitas antara kebutuhan dan ketersediaan masih sangat lebar. Back log properti sebanyak 1,4 juta per tahun. Sementara kemampuan suplai hanya 150.000 dari total potensi hunian baru sebanyak 300.000 per tahun. Plus terdapat 15 juta rumah tangga Indonesia yang belum memiliki rumah tinggal.
"Jumlah 15 juta plus bertambahnya jumlah populasi akibat angka kelahiran yang tinggi, merupakan kebutuhan yang akan terus ada. Faktor ini hendaknya direspon positif oleh pengembang dengan menyediakan hunian yang sesuai dengan kebutuhan mereka," tandas Matius.