JAKARTA, KOMPAS.com — Gairah kegiatan investasi di bidang properti Indonesia bak uang logam. Di satu sisi, kegiatan investasi memicu pertumbuhan properti, sedangkan di sisi lain, kegiatan investasi menyebabkan lonjakan harga rumah di Tanah Air.
Beberapa pihak bahkan menyebutkan, hal ini mampu memperlebar jurang pemenuhan kebutuhan papan antara masyarakat berpenghasilan atas dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Meski berisiko, Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) Sri Hartoyo mengatakan bahwa MBR seharusnya tidak perlu khawatir dengan kegiatan investasi tersebut. Hingga saat ini, lanjut dia, pemenuhan kebutuhan rumah bagi MBR masih menjadi tanggung jawab dan tujuan utama pemerintah.
"Itu kan pembeli yang mempunyai kemampuan. Kalau MBR tetap mencari rumah murah. Kalau ada orang yang memang bertujuan berinvestasi, harga tidak masalah bagi mereka karena mereka justru mencari gain. Kalau ingin berinvestasi, mereka kan punya uang," ujar Sri ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (14/5/2013).
"Sementara rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah tersedia, tetapi lokasinya di pinggir kota. Kalau dilihat, rencana suplai rumah murah sendiri sebenarnya cukup. Untuk 2013 ini rencananya akan tersedia 200.000 rumah murah. Ada yang sudah jadi, tetapi ada juga yang masih proses," lanjutnya.
Hingga saat ini, Sri menuturkan, penyediaan rumah sejahtera tapak yang difasilitasi dengan skema KPR FLPP mencapai 24.843 unit di seluruh Indonesia. Dana FLPP yang terserap untuk skema itu berjumlah Rp 1,248 triliun. Sri mengatakan, antara kegiatan investasi dan pemenuhan kebutuhan rumah bagi MBR adalah kasus berbeda.
"Beda kasus. Pemerintah konsentrasinya untuk MBR. Kalau rumah untuk tujuan investasi itu, urusan mereka yang berinvestasi. Tapi sebenarnya ini juga kurang baik. Investasi bisa mengatrol, memengaruhi harga rumah. Semakin banyak orang menggunakan rumah untuk berinvestasi, mereka semakin berlomba untuk mencari nilai tambah," ujarnya.
Menurut Sri, sebetulnya justru bukan MBR yang seharusnya khawatir dengan keadaan ini. Dia mengatakan, orang-orang dengan penghasilan transisi itulah yang merasakan langsung efek ramainya investasi. Penghasilan transisi dimaksud di sini adalah penghasilan di atas penghasilan maksimum MBR sebesar Rp 3,5 juta sebagai syarat mengikuti skema FLPP (Baca: Mau Rumah Murah? Cek Dulu Syaratnya!).
"Ya, hal ini dapat menekan orang-orang dengan penghasilan transisi, seharusnya memang dikendalikan," ujarnya.
Sayangnya, Sri juga mengatakan bahwa saat ini pemerintah belum punya strategi pengendalian investasi. Yang ada adalah penetapan aturan properti dengan luas di atas 70 meter persegi dikenakan uang muka 30 persen, serta penggiatan pelaksanaan hunian berimbang.
Baca juga: Harga Rumah Tak Terkejar, Kesenjangan Makin Melebar
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.