JAKARTA, KOMPAS.com - Lonjakan harga rumah di Tanah Air telah memperlebar jurang pemenuhan papan antara masyarakat berpenghasilan atas dan masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah perlu segera mengintervensi penyediaan rumah.
Pengamat properti Panangian Simanungkalit menilai, di Jakarta, Senin (13/5/2013), kenaikan harga rumah yang tidak terkendali disebabkan kebutuhan rumah penduduk yang terus bertambah tidak mampu diimbangi suplai yang memadai. Konsumen properti saat ini terbelah dua, yakni mereka yang membutuhkan rumah sebagai tempat tinggal (end user) dan rumah sebagai instrumen investasi. Muncul kecenderungan masyarakat berpenghasilan tinggi untuk menyimpan dana berlebih dalam bentuk aset properti ketimbang menabung di bank yang suku bunganya rendah.
"Indonesia memasuki darurat perumahan di tengah ledakan pertumbuhan properti. Pemerintah tidak berdaya mengendalikan pasar dan gagal melaksanakan tanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar rakyat atas papan," ujar Panangian.
Jangan terbuai
Panangian mengingatkan pemerintah agar tidak terbuai oleh fenomena pertumbuhan properti di Indonesia, penguatan kelas menengah, dan prediksi sejumlah lembaga internasional terkait kemajuan perekonomian Indonesia pada tahun 2030. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2012 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, pemerintah daerah berkewajiban menyediakan rumah rakyat.
Pemerintah hingga kini mengandalkan pengembang untuk memasok rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, insentif bagi pengembang untuk pembangunan rumah murah sangat lemah.
Program pembangunan 1.000 menara rumah susun milik bersubsidi periode 2007-2012 yang digulirkan pemerintah di Jabodetabek terhenti sejak 2010. Pengembang berhenti memproduksi rumah susun murah dan lebih tertarik mengisi ceruk pasar apartemen segmen menengah ke atas yang laris.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa di Jakarta, kemarin, menyatakan, kenaikan harga properti sudah terlalu cepat meski belum memasuki kondisi bubble.
"Sektor properti yang sedang booming ini perlu kita dorong, tapi jangan sampai masyarakat kita yang paling butuh perumahan menjadi tak mampu menjangkaunya," katanya.
Pembelian properti sebagai investasi oleh kelompok menengah ke atas, kata Hatta, menjadi salah satu penyebab melonjaknya harga. Kepentingan investasi adalah sah. Namun, yang harus diingat, jangan sampai hal itu menyebabkan harga properti tidak terjangkau masyarakat bawah.
Wakil Ketua Umum Real Estat Indonesia Djoko Slamet Utomo mengakui, kenaikan harga rumah tidak terkejar oleh kenaikan daya beli masyarakat. Proyek rumah murah dan bersubsidi terganjal ketersediaan lahan. Tidak ada jaminan lahan dan infrastruktur dari pemerintah, proses perizinan yang berbelit, dan tata ruang yang semrawut.
"Kami harus jujur. Pengembang membangun proyek perumahan untuk mencari untung, jadi tidak mungkin membangun proyek yang tidak untung. Penyediaan rumah murah seharusnya dikendalikan pemerintah melalui pemberian insentif bagi pengembang," ujarnya.
Guru Besar Hukum Agraria dari Universitas Gadjah Mada Maria SW Sumardjono menyatakan, reforma agraria mengatur penyediaan tanah untuk rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Ketentuan itu tertuang dalam tiga aturan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar juncto Peraturan Kepala Badan (Perkaban) Pertanahan Nasional Nomor 4/2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar, dan junctis Perkaban Pertanahan Nasional Nomor 5/2011 tentang Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar.
Dalam Perkaban Pertanahan Nasional No 5/2011 disebutkan, tanah negara bekas tanah telantar diperuntukkan bagi program strategis negara, yaitu sektor pangan, energi, dan perumahan rakyat. Hal itu menunjukkan, bahwa peruntukan tanah negara bisa untuk penyediaan tanah bagi perumahan rakyat.
"Sejauh mana implementasi tanah negara bekas tanah telantar itu dimanfaatkan untuk perumahan rakyat? Aturan sudah ada, tinggal sejauh mana implementasinya," ujar Maria.
Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz menilai wajar kenaikan harga rumah tinggi di sejumlah wilayah karena tren pertumbuhan properti.
"Gap perumahan terjadi karena pembeli masih mau membeli dengan harga tinggi dan kemampuan membeli ada. Pengembang lebih tertarik menggarap segmen ini," ujar Faridz.
(LKT/LAS/NDY/ABK/ETA/RIZ/SIR/ABK/RWN/RAZ/BAY/TIF/NIK/ODY)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.