Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rumah Murah Kian Tak Terjangkau

Kompas.com - 14/05/2013, 03:52 WIB

Fitrie Karnita, wiraswasta muda di Palmerah, Jakarta, mengaku sudah sebulan kesulitan menemukan rumah yang layak dan terjangkau. Ia mengikuti saran dari sejumlah kerabat untuk mencari rumah yang dibangun oleh pengembang besar. Namun, harga yang ditawarkan umumnya mahal dan terus naik.

”Staf pemasaran pengembang besar bilang bahwa harga rumah akan terus naik. Semula saya pikir ini cara marketing agar konsumen cepat membeli rumah. Ternyata, harga rumah sungguh terus naik,” tuturnya.

Tiwi (28), resepsionis perusahaan properti, meyakini tak akan mampu membeli rumah seperti yang ditawarkan perusahaannya. Perusahaan tempat dia bekerja menjual rumah berbagai tipe dengan harga Rp 1,9 miliar sampai Rp 2,8 miliar. Padahal, gaji Tiwi pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. ”Meskipun ada rumah dengan harga Rp 250 juta atau Rp 300 juta, tetap sulit bagi saya memilikinya,” kata Tiwi.

Pindah kontrakan

Kesulitan memiliki rumah juga dialami Muhammad Askin (40), yang bekerja di PT Mojong Mitra Maju sejak tahun 1993. Ia sudah tiga kali pindah kontrakan sejak menikahi Netty (38) 10 tahun lalu. Impian memiliki rumah tak kunjung terwujud seiring harga properti yang terus melambung. Gaji Askin yang sedikit di atas upah minimum Kota Makassar tak cukup untuk mengangsur rumah sangat sederhana sekalipun.

Cita-cita Askin sebenarnya sederhana, memiliki rumah tipe 22 di perbatasan Makassar dan Kabupaten Maros yang ditawarkan pengembang Rp 90 jutaan. Sejak lima tahun belakangan, ayah dua putra itu pun menabung sebisanya untuk memenuhi besaran uang muka.

Namun, upaya itu seperti sia-sia. Tabungan selama lima tahun sebesar Rp 8 juta jauh dari besaran uang muka yang Rp 18 juta. Apalagi, angsuran per bulan mencapai Rp 900.000 selama 15 tahun. ”Sejak itu, saya tahu mustahil punya rumah sendiri,” ujar Askin yang bergaji Rp 1,6 juta per bulan.

Ramli (38), pegawai hotel di Makassar, punya pengalaman pahit ketika hendak mencicil rumah tahun lalu. Bermodal gaji Rp 2 juta per bulan, permohonan kreditnya ditolak salah satu bank pemerintah. Gaji suami dari Maharani (35) itu dianggap tidak cukup untuk membayar cicilan rumah Rp 1,1 juta per bulan selama 15 tahun.

”Pegawai bank bilang, gaji saya minimal harus tiga kali dari besarnya angsuran,” kata Ramli. Padahal, rumah yang ingin dibeli hanya seluas 60 meter persegi dan berlokasi di Kabupaten Gowa. Ia pernah mencoba ikut program rumah murah yang ditawarkan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Namun, ia terganjal syarat gaji minimal Rp 3 juta per bulan.

Menurut Agus Salim, dosen Ekonomi Universitas Hasanuddin, sudah saatnya pemerintah menyediakan program rumah murah dengan skema cicilan sesuai kemampuan buruh. Pemerintah juga perlu mencermati ketiadaan standar baku dalam penetapan harga rumah.

”Kebijakan pengembang yang selama ini cenderung seenaknya menetapkan harga membuat grafik peningkatan properti tak berbanding lurus dengan daya beli masyarakat,” paparnya.

Di tingkat nasional, kekurangan rumah saat ini menembus 15 juta unit. Dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata 1,5 persen per tahun, kebutuhan rumah baru setiap tahun mencapai 900.000 unit. Sementara pasokan dari pengembang rata-rata 200.000 unit per tahun. (LKT/UTI/RIZ/MHF/CHE)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com