Dengan mengubahnya menjadi berbagai gaya, seperti yang dilakukan para desainer, konsumen sarung bisa menjadi lebih beragam dan permintaan akan sarung tak hanya terjadi menjelang Lebaran, seperti yang selama ini terjadi.
Di daerah industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung, misalnya, sarung diborong habis pemilik toko di Jakarta, Surabaya, Makassar, dan beberapa daerah lain menjelang Idul Fitri dan Idul Adha. Di luar itu, sarung yang dihasilkan dari industri rumahan dan pabrik lebih banyak disimpan di gudang sebagai stok.
Nilai sarung bisa terangkat saat sudah berwujud menjadi berbagai gaya busana. ”Saya memakai sarung yang harganya Rp 35.000 karena ingin menunjukkan bahwa sarung bisa dipakai semua orang. Mudah-mudahan dengan diubah menjadi gaya lain, nilai sarungnya menjadi terangkat,” tutur Natasha.
Guru Besar Kriya Tekstil Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung Biranul Anas menyambut baik gerakan memasyarakatkan sarung melalui Pekan Mode Indonesia. Hanya saja, Biranul mengingatkan para desainer yang mengolah kekayaan bangsa ini agar memahami nilai-nilai filosofi di dalamnya.
”Jangan sampai sarung yang biasa dipakai untuk ritual tertentu diubah menjadi busana pantai,” kata Biranul.
Jadi, tunggu apa lagi. Yuk... sarungan!