OLEH YULIA SAPTHIANI
Di atas panggung peragaan busana, akhir pekan lalu, di Jakarta Convention Center, seorang model berjalan mengenakan kaus lengan panjang putih bertuliskan ”Cinta Selagi Berduit”. Sebagai bawahan dikenakannya sarung bermotif kotak-kotak. Di ujung panggung, tepat di hadapan fotografer, model ini melipat bagian bawah sarung ke atas dan mengikatnya hingga menjadi celana pendek.
Model lain memperlihatkan keragaman sarung tajung asal Palembang yang sudah langka menjadi blus dan jaket yang berpotongan sederhana. Ada pula yang mengubah sarung tenun sutra Makassar dalam nuansa oranye menjadi gaun bergaya kimono serta setelan rok dan blus berlengan lebar.
Variasi desain dari sarung ini adalah hasil kreasi anak-anak muda finalis kompetisi wirausaha mode yang menjadi bagian dari Indonesia Fashion Week (IFW/Pekan Mode Indonesia) 2012. Lomba ini juga menjadi bagian dari program panitia IFW 2012 yang ingin memasyarakatkan penggunaan sarung kepada kaum urban agar posisinya sama seperti batik yang telah menjadi item wajib orang Indonesia.
”Sarung itu interpretasinya produk ndeso. Di lomba ini, saya membuat bagaimana caranya agar sarung bisa lebih keren dan tampil dinamis supaya bisa dipakai anak muda jalan-jalan di mal,” ujar Natasha Dame Novita (25), peserta kompetisi.
Juara pertama, Shahnaz Soraya (24), juga berusaha menjangkau anak muda melalui desain dari sarung tajung yang diberi tema Urban Simplicity. ”Saya ingin sarung tajung tidak terlalu terlihat tradisional hingga bisa dipakai anak muda. Saya juga ingin sarung ini tidak terbatas dipakai laki-laki,” kata Shahnaz.
Selain anak-anak muda peserta kompetisi, ada perancang Lenny Agustin dan Anne Avantie yang juga mengolah sarung dalam peragaan busana di IFW.
Perancang Merdi Sihombing juga memiliki pengalaman mengangkat sarung Baduy dalam peragaan busana bertema Forbidden Baduy pada 2006. Dalam acara yang disiapkan selama tiga tahun itu—karena Merdi harus melakukan pendekatan kepada masyarakat Baduy dan mempelajari budayanya terlebih dulu—sarung dibiarkan apa adanya.
”Saya hanya memperlihatkan berbagai variasi memakai sarung agar terlihat lebih modern.
Seperti produk tekstil lain, sarung memiliki ragam variasi di negeri ini, seperti sarung kotak-kotak yang menjadi ciri khas sarung Samarinda dan Majalaya, sarung tenun ikat di Nusa Tenggara Timur (NTT), sarung dengan nuansa warna emas atau perak di Sumatera, atau sarung batik dari Pekalongan.
Variasi ini tak hanya bisa dinikmati secara visual melalui warna, bahan, dan motifnya, tetapi juga bisa dilihat melalui keragaman filosofi di baliknya. Di NTT, sarung bisa menjadi penanda kedewasaan perempuan penenunnya. Di Sulawesi Selatan, orang Bugis berhubungan dengan sarung dari lahir hingga meninggal. Pamor sarung Bugis yang dibawa para perantaunya bahkan berpengaruh pada munculnya sarung Samarinda.
Melalui motif dan warna, sarung juga menjadi tanda status sosial pemakainya. Dalam buku Tenun: Handwoven Textiles of Indonesia (Cita Tenun Indonesia, 2010) diuraikan, dominasi warna emas dan perak pada sarung di Padang mewakili status dan kesejahteraan orang Minang. Begitu pula sarung Bugis yang memiliki aksen dua warna tersebut.
Di Baduy, seperti diceritakan Merdi, ketebalan garis pada sarung menunjukkan strata sosial laki-laki pemakainya. Semakin tebal garis, semakin tinggi pula status sosialnya.
Sarung juga memiliki nilai historis di masa perjuangan. Diceritakan dalam buku Outward Appearances, Dressing State and Society in Indonesia (1997), sarung menjadi alat perlawanan kaum terpelajar Indonesia, terutama di masa penjajahan Jepang.
Ketika itu, kaum perempuan terpelajar Indonesia memilih mengenakan sarung dengan kebaya dan meninggalkan baju
Setelah kemerdekaan, berkat Soekarno, sarung dan kebaya kembali muncul di kalangan elite di wilayah umum dan mendapat status sebagai pakaian nasional. Dengan tambahan tas dan kacamata hitam sebagai atribut status dan kekuasaan, sarung dan kebaya saat Orde Baru mewakili warisan kebudayaan Indonesia.
Cerita dalam buku yang diedit Henk Schulte Nordholt, seorang dosen sejarah modern Asia dan antropologi di University of Amsterdam, ini adalah bukti bahwa sarung pernah mendapat tempat sebagai simbol nasionalisme bangsa. Atas dasar ini, ditambah kekayaan ragamnya, sehelai sarung seharusnya tak hanya dikenal sebagai pakaian rumah.
Dengan mengubahnya menjadi berbagai gaya, seperti yang dilakukan para desainer, konsumen sarung bisa menjadi lebih beragam dan permintaan akan sarung tak hanya terjadi menjelang Lebaran, seperti yang selama ini terjadi.
Di daerah industri tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung, misalnya, sarung diborong habis pemilik toko di Jakarta, Surabaya, Makassar, dan beberapa daerah lain menjelang Idul Fitri dan Idul Adha. Di luar itu, sarung yang dihasilkan dari industri rumahan dan pabrik lebih banyak disimpan di gudang sebagai stok.
Nilai sarung bisa terangkat saat sudah berwujud menjadi berbagai gaya busana. ”Saya memakai sarung yang harganya Rp 35.000 karena ingin menunjukkan bahwa sarung bisa dipakai semua orang. Mudah-mudahan dengan diubah menjadi gaya lain, nilai sarungnya menjadi terangkat,” tutur Natasha.
Guru Besar Kriya Tekstil Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung Biranul Anas menyambut baik gerakan memasyarakatkan sarung melalui Pekan Mode Indonesia. Hanya saja, Biranul mengingatkan para desainer yang mengolah kekayaan bangsa ini agar memahami nilai-nilai filosofi di dalamnya.
”Jangan sampai sarung yang biasa dipakai untuk ritual tertentu diubah menjadi busana pantai,” kata Biranul.
Jadi, tunggu apa lagi. Yuk... sarungan!