Oleh: F. Teguh Satria
KOMPAS.com - Stopnya kucuran kredit perumahan bersubsidi melalui skema bantuan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) menjadi topik paling hangat di berbagai media nasional dan daerah dua bulan belakangan ini. Padahal, kisruh yang terjadi ini bisa dihindari jika Pemerintah memiliki roadmap (peta jalan) yang jelas tentang cara memenuhi salah satu hak azasi manusia seperti diamanatkan oleh UUD 1945 (amandemen) pasal 28 H ayat I. Isinya jelas mengatakan, "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan".
Tetapi, sejak Indonesia merdeka sampai sekarang, backlog (kekurangan) perumahan bukannya makin mengecil, justru semakin bertambah. Data Biro Pusat Statistik (BPS) pada 2009 lalu menyebutkan, angka backlog sudah mencapai lebih dari 8 juta unit. Jumlah itu jelas akan terus bertambah akibat pertambahan keluarga baru dan adanya rumah yang rusak sehingga perlu rehabilitasi.
Kebutuhan Rumah Setiap Tahun Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk Indonesia lebih kurang 241 juta dengan angka pertumbuhan penduduk 1,3 % per tahun. Jumlah rata – rata orang per Kepala Keluarga (KK) lebih kurang 4,3 jiwa. Maka, jika dihitung jumlah kebutuhan rumah adalah: 241 juta x 1,3% : 4,3. Sehingga setiap tahunnya dibutuhkan 728.604 unit rumah per tahun atau jika dibulatkan menjadi 729 ribu unit rumah pertahun.
Data BPS juga menyebutkan, jumlah rumah di Indonesia mencapai angka 49,3 juta unit. Dari jumlah tersebut, 3% di antaranya perlu diperbaiki karena rusak sehingga jumlah rumah yang harus direhabilitasi mencapai 1.479.000 unit (49,3 juta x 3%). Lalu, berapa kebutuhan total perumahan yang harus dibangun setiap tahunnya?
Saya mencoba menghitung. Sebut saja sekarang jumlah backlog nasional (hanya) 8 juta unit. Jika diasumsikan angka itu bisa dipenuhi dalam jangka waktu 20 tahun, artinya jumlah backlog pertahun mencapai 400 ribu unit rumah (8 juta : 20 tahun). Sehingga, total kebutuhan rumah di Indonesia per tahun : = akibat pertumbuhan penduduk + rehabilitasi/upgradation + backlog = 729.000 unit + 1.479.000 unit + 400.000 unit = 2.608.000 unit rumah per tahun!
Melihat angka kebutuhan rumah yang sangat besar ini, tentu diperlukan penyediaan dana yang sangat besar untuk membangunnya. Saat ini, pembiayaan perumahan berjangka waktu panjang, sedangkan pada umumnya bank mendapatkan dana dari masyarakat berupa dana jangka pendek dan relatif mahal, sehingga terjadi mismatch pendanaan. Oleh karena itu, perlu mengupayakan terkumpulnya dana yang berjangka panjang dan murah.
Tabungan wajib perumahan
Kita tahu, ada keterbatasan dana dari pemerintah. Maka, untuk menjamin kelangsungan pembangunan perumahan, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), diperlukan sumber pendanaan yang besar, murah, dan berjangka panjang. Lantas, apa dan bagaimana jalan keluarnya?
Jalan keluar paling tepat adalah perlu adanya tabungan wajib perumahan. Ini merupakan keniscayaan. Tabungan wajib perumahan ini berazas gotong-royong. Warga negara yang mampu membantu yang kurang mampu, sehingga tidak membebani APBN.