Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Teguh Satria: Kebijakan Perumahan Tidak Didukung Menkeu

Kompas.com - 12/04/2011, 08:29 WIB

Pengembang kan butuh uang untuk membangun? Tapi ketika minta kredit ke bank, bank bertanya pada pengembang, ada konsumennya nggak? Agar ada konsumen, pengembang kan harus menjual. Tapi agar bisa terjual, pengembang harus membangun. Dan agar bisa terbangun, butuh duit. Tapi kalau bank nggak ngasih kredit, bagaimana? Pengembang kecil mati.

Kami paham substansi UU itu agar masyarakat tidak tertipu. Tapi apakah para wakil rakyat yang membuat UU ini memikirkan dampaknya? Hanya pengembang yang kuat yang bisa membangun, sedangkan pengembang kecil harus pinjam dari bank.

Dalam draft UU Rusun, ada pasal yang mengatur, untuk menjual, harus ada garansi bank. Apa bisa bank beri garansi kepada developer bahwa ia akan membangun? Bagaimana mekanismenya? Dalam draft UU Rusun, untuk melakukan PPJT, harus ada garansi bank atau asuransi. Beranikah bank kasih garansi bahwa Anda membangun? Bagaimana caranya asuransi? apa asuransi yang bayari konsumen? Mekanismenya sulit.

UU ini kok kesannya membatasi segala macam. Mengapa tidak diatur dalam aturan turunannya? PP atau Permen? Kan lebih fleksibel. kalau garansi bank bagaimana? Bank nggak mau gimana? Bisa berhenti semua. Kalau nggak laku bagaimana?

Pada pembahasan UU Perumahan dan Permukiman, setahu kami, DPP REI hanya dimintai pendapat satu kali, dan itu hanya saat awal dan kami tidak diberi draft UU. Kami hanya dimintai pendapat. Secara resmi, DPP REI sampaikan tertulis, hanya tidak diakomodir.

UU PKP dan UU Rusun semua hak inisiatif DPR, bukan Kemenpera. Dan Menpera sendiri, banyak ide dan terobosan yang brilian. Tapi kalau tidak didukung staf dan kementerian lain, jadi sulit. Seperti FLPP, terobosan yang brilian, semua pihak diuntungkan Tapi kalau aturan lain tidak mendukung, ya susah juga.

Ada rencana pemerintah mendukung kepemilikan orang asing. Dan ada yang khawatir terjadi "bubble". Menurut Anda?
Kemenpera mendukung orang asing boleh miliki properti di Indonesia. Tapi tak bisa hanya Menpera. Tidak bisa berjalan dengan sempurna karena tak didkung, misalnya masalah pajak. Sinkronisasi kepemilikan asing itu dengan BPN. Kalau tidak sinkron, ya tidak bisa.

Di Indonesia kan ada pembatasan minimal harga? Orang asing hanya boleh membeli properti minimal seharga 150.000 USD. Jadi tidak mungkin pasar properti orang asing, bagaimana bisa mempengaruhi properti murah. Rakyat menengah bawah kan nggak mungkin membeli properti seharga Rp 1,4 miliar. Ini pasar terbatas. Pasar properti menengah bawah tidak akan terpengaruh. Pasar domestik jumlahnya jutaan unit, sedangkan pasar orang asing, jika jumlahnya 10.000 unit, itu sudah luar biasa.

Menurut saya, orang awam hanya memahami satu kalimat: “orang asing boleh beli properti di Indonesia”. Padahal aturannya banyak. Harga minimal 150.000 USD. Jadi mengapa harus khawatir?

Properti untuk orang asing tidak bersaing pada tataran yang sam dengan properti masyarakat menengah bawah. Contoh, jumlah hotel bintang lima seperti Grand Hyatt ada seribu. Apakah hotel-hotel bintang lima sperti Grand Hyatt mempengaruhi hotel-hotel bintang tiga dan bintang dua, melati sehingga jadi kosong? Kan pasarnya beda-beda? Jadi masyarakat tak perlu khawatir. Segmennya tidak sama.

Harga properti Indonesia dengan Singapura, 1:11. Tapi kok orang Indonesia banyak yang beli di Singapura, Australia, Hong Kong, Los Angeles? Mengapa mesti takut?

Jadi kekhawatiran terjadinya bubble terlalu berlebihan. Pasar domestik di Indonesia sangat besar dibandingkan pasar asing. Yang laris kan apartemen Rp 500-600 juta yang laris, yang di bawah Rp 1 miliar. ***

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com