Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mal dan Imajinasi Gaya Hidup

Kompas.com - 09/01/2011, 06:12 WIB

Fasilitas

Melihat fenomena itu, pengelola mal di Jakarta berbenah, membangun berbagai fasilitas. Tak saja penampilan dipoles agar lebih memikat, juga dibangun ruang-ruang baru untuk menampung beragam kebutuhan.

Konsultan kreatif beberapa mal di Indonesia, Yoris Sebastian, pernah ikut merancang konsep mal FX, Jakarta. Mal ini punya 12 ruang meeting di lantai dua yang bernama POD. Ukurannya beda- beda dan bentuknya dinamis, seperti oval, bulat, dan kurva.

Ruangan ini dilengkapi peralatan kantor canggih, seperti mesin faksimile, printer, internet connection, telecommunication & conference network, inhouse secretary, atau in-focus. Dinding ruangannya berupa kaca transparan. ”Supaya tidak bosan ketika rapat,” tutur Yoris.

Mal lain, Plaza Senayan, juga memproklamasikan diri sebagai pusat mode dan tempat pertemuan. Corporate, Marketing, and Communication Manager Plaza Senayan Natalia Anita Hatmarini menuturkan, mal ini memperbanyak tempat pertemuan yang menyebar di beberapa lantai. Mulai dari foodcourt di basement dan lantai tiga, berbagai kafe di lantai satu, hingga restoran di lantai dua dan tiga.

Ada juga tempat dengan akses tersendiri sehingga bisa buka lebih pagi dari jam operasi mal. ”The Coffee Bean pernah buka sejak pukul 07.00 karena banyak permintaan,” katanya.

Fasilitas itu kian menggoda masyarakat yang berpikir praktis. Salah satunya adalah Dwihartini (39), pengusaha biro periklanan. Ia selalu memilih mal untuk bertemu klien.

Biasanya pertemuan itu dilakukan sebelum jam makan siang. Mereka membahas proyek-proyek iklan. Cukup dengan membawa laptop, Dwihartini menyajikan gambar-gambar desain grafis. Tiba jam makan siang, kliennya dijamu dengan makanan di restoran itu. ”Kalau rapat di kantor, kadang kita ribet mikirin makanan yang cocok disajikan,” tuturnya.

Ruang publik

Menurut pengamat budaya dari Universitas Indonesia, Bagus Takwin, perkembangan ini menggembirakan sekaligus memprihatinkan. Di satu sisi, mungkin warga semakin kreatif membajak pasar untuk kepentingan lebih produktif. Di sisi lain, semua itu terjadi karena kota Jakarta dan sekitarnya tidak punya ruang publik—seperti taman, trotoar, lapangan, atau ruang terbuka lain—yang nyaman.

Pada saat bersamaan, mal menyediakan ruang di tengah kota yang lebih menarik, enak, dingin, dan banyak obyek untuk dilihat. Dengan lokasi di titik-titik strategis, mal lebih mudah diakses di tengah lalu lintas yang macet. Wajar saja jika akhirnya banyak orang suka nongkrong di mal.

Namun, kondisi ini bukan tanpa risiko. Terlalu sering ke mal, tanpa diimbangi kesadaran jernih, bisa menggoda siapa saja untuk terseret dalam putaran konsumsi dan imajinasi gaya hidup. ”Kalau kita bisa menggunakan mal untuk pengembangan diri, itu menarik. Tapi, jika terbenam dalam godaan memuaskan hasrat dengan belanja berbagai sarana pencitraan yang semu, itu akan bikin ketagihan tiada habisnya,” katanya.

(Yulia Sapthiani/ Lusiana Indriasari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com