Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Daya Tempur Surat SBY

Kompas.com - 03/09/2010, 09:04 WIB

Kondisi obyektif bahwa ada dua juta TKI di Malaysia memang benar. Namun, kemungkinan efek ekstrem mengenai deportasi TKI pulang ke Indonesia juga berlebihan. Malaysia saat ini jelas banyak bergantung pada TKI yang bekerja di berbagai sektor industri dan domestik rumah tangga.

Bisa dilihat bahwa pengaruh TKI terhadap dinamika konstruktif perekonomian Malaysia terlampau besar. Selain tenaga kerja murah yang memberi keuntungan dalam peningkatan akumulasi kapital industri di Malaysia, para TKI merupakan tumpuan kelancaran proses berproduksi.

Bayangkan saja kerugian mereka bila dua juta TKI tiba-tiba berhenti dari peran mereka mendukung aktivitas industri Malaysia. Sangat mungkin: sehari saja dukungan tersebut dicabut, maka perekonomian Malaysia akan terguncang. Apalagi jika hal itu ditambah dengan pencabutan semua izin usaha perkebunan sawit Malaysia yang mencapai 2,1 juta hektar di Indonesia.

Efek ekstrem dengan pengertian yang negatif ini jelas tidak hanya akan mengimbas Indonesia, tetapi juga berdampak pada Malaysia. Seharusnya keberadaan para TKI di negeri serumpun itu dan ketergantungan ekonomi Malaysia pada berbagai investasi di Indonesia dijadikan sebagai amunisi diplomasi yang menggetarkan. Sayang, paham pemerintahan SBY ini terbalik dan terlalu merendahkan kekuatan sendiri.

Gaya konflik

Studi konflik mengenal istilah gaya konflik suka bertengkar yang berarti tegas dan berprinsip pada kepentingan internal. Gaya konflik suka bertengkar ini sangat dibutuhkan, apalagi bila pihak lawan gemar menggunakan gaya konflik yang serupa untuk mempertahankan eksistensi internal kelompok atau negara dengan kepentingan. Secara idealis ini bisa menciptakan ayunan posisi politik ke tengah ketika pihak lawan bersedia melakukan negosiasi yang menguntungkan (Zartman, 2009).

Rezim negeri jiran tampaknya lebih menyadari konsep gaya konflik itu daripada Pemerintah Indonesia. Untuk itulah, mereka selalu berani bertengkar ria dengan menangkap staf Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang sedang bertugas di wilayah kedaulatan sendiri dan lantang memprotes demonstrasi anti-Malaysia tanpa meminta maaf atas kesalahan mereka.

Sebenarnya bisa diprediksi kemauan Malaysia dengan gaya suka bertengkarnya seperti itu: mengayun Indonesia ke proses negosiasi yang menguntungkan mereka dalam sengketa perbatasan.

Pemerintah perlu menepis ketakutan berlebihannya jika menyadari kekuatan yang ia miliki. Ini tentu bukan semata dikarenakan prinsip diplomasi seribu teman tak ada lawan. Namun, lebih disebabkan kegelisahan terhadap efek ekstrem jika hubungan bilateral kedua negara memburuk.

Akibat kegelisahan itu, gaya konflik Pemerintah Indonesia saat ini menjadi kerdil dan kompromistis, yang ditandai oleh pragmatisme dalam menghadapi situasi konflik.

Tukar guling pencuri dari Malaysia dengan petugas KKP dan sikap takut tegas pada tingkah buruk Malaysia adalah buktinya. Kegelisahan tersebut jelas salah dan harus segera diperbaiki.

Pemerintah tidak perlu ragu menggunakan gaya konflik suka bertengkar karena Indonesia mampu memberi efek ekstrem kepada Malaysia. Publik masih mengharap surat SBY kepada Perdana Menteri Malaysia memiliki daya tempur yang melindungi kepentingan nasional. Toh, Indonesia tidak sedang mengajak berperang fisik.

*Novri Susan Pengajar di Departemen Sosiologi FISIP Unair, Surabaya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com