oleh Robert Adhi Ksp
LEBIH dari 20 tahun yang lalu, Serpong adalah hamparan hutan karet yang tidak produktif lagi. Tahun 1988, jalan menuju hutan karet ini hanya jalan tanah, tak beraspal. Kalau musim hujan, jalan berubah jadi kubangan, dan pada musim kemarau, debu-debu berterbangan di jalan itu.
Saya ingat ketika pada tahun 1988-1990 saya menjadi wartawan pemula yang ditugaskan di Tangerang, saya sering ke kawasan ini. Di kawasan Serpong, ada dua markas tentara. Yang saya ingat, markas Batalyon Kavaleri-8 Penyerbu merupakan tempat yang paling jauh, paling ujung. Setelah itu, yang terlihat hanya hamparan hutan karet. Pada malam hari, banyak orang enggan melintasi perkebunan karet ini yang gelap. Mungkin legenda Mat Item yang tersohor membuat warga takut berpergian malam hari.
Kawasan Serpong mulai berkembang ketika tahun 1989, Ciputra membangun kawasan Bumi Serpong Damai dan sejak awal sudah disebut sebagai kota mandiri. Peresmian pembangunan BSD pertama kali dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri (waktu itu) Rudini.
Di Bumi Serpong Damai, Ciputra memegang izin lokasi hingga 6.000 hektar. Akses ke Bumi Serpong Damai pun lambat laun mulai terbuka. Saat itu, baru ada jalan tol Kebon Jeruk-Tangerang-Merak. Jarak Bumi Serpong Damai masih relatif jauh dari pusat kota Jakarta. Bisa dijangkau dengan angkutan umum, seperti bus Patas tapi jumlahnya masih terbatas.
Dalam suatu kesempatan pada tahun 1990-an, saya pernah bertanya kepada Pak Ciputra soal perkembangan kawasan ini, dan Pak Ci menjawab saat itu sedang dibangun jalan tol dari Bumi Serpong Damai-Bintaro-Pondok Indah. Pak Ci menjelaskan pula, jalan tol itu akan menyambung ke Citra Raya, salah satu proyek properti milik Pak Ci di Cikupa, Tangerang.
Ketika krisis ekonomi melanda negeri ini tahun 1997, industri properti termasuk yang mati suri. Pembangunan di Bumi Serpong Damai juga terhenti. Juga proyek-proyek properti lainnya, termasuk di Gading Serpong. Mungkin sekitar lima tahun lamanya, industri properti stagnan. Bangunan di Gading Serpong tak terurus lagi.
Bergairah kembali
Tahun 2003-2004, Bumi Serpong Damai beralih kepemilikan. Setelah diambil alih grup Sinarmas, namanya menjadi BSD City. Sementara Gading Serpong diambil alih dua pengembang besar, Summarecon (yang sukses menyulap rawa-rawa di Kelapa Gading menjadi kawasan elit) dan Paramount (perusahaan modal asing dari Singapura, yang sebenarnya bergerak di bidang peralatan rumah sakit, lalu mendirikan perusahaan properti di Indonesia).
BSD dan Gading Serpong berganti kepemilikan. Dan hanya Alam Sutera yang tidak berganti kepemilikan. Setelah tahun 2004, industri properti di Serpong mulai bergairah kembali.
Sinarmas membangun cluster-cluster baru dengan nama asing, mulai dari De Latinos, The Icon, Sevilla, sampai Foresta. Pertimbangan mereka karena alasan permasaran. Lebih mudah memasarkan rumah dengan nama asing daripada nama Indonesia sendiri. Pendapat saya pribadi, nama-nama seperti Giri Loka, Puspita Loka, Griya Loka, Anggrek Loka, Nusa Loka, Kencana Loka, warisan pengembang Ciputra, merupakan nama-nama yang sarat makna.