Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hendro Gondokusumo: Intiland Pionir Reklamasi di Asia Tenggara

Kompas.com - 16/02/2010, 22:23 WIB

Di Indonesia, kawasan pesisir pantai kurang diperhatikan. Ini warisan Belanda yang lebih mengutamakan pembangunan di daratan.

Padahal menurut saya, reklamasi merupakan konsep yang bagus. Ada yang tidak percaya, ada yang memuji. Tapi yang pasti waktu itu saya sudah mantab membangun reklamasi Pantai Mutiara. Mengapa? Saya melihat, di luar negeri, pantai sebenarnya kawasan paling mahal. Kalau pengusaha properti sudah berhasil melakukan reklamasi, jika diukur dalam bidang pendidikan, artinya pengusaha itu sudah lulus PhD. Tapi kalau hanya membangun rumah, ya itu cukup SD.

Reklamasi Pantai Mutiara dikembangkan seluas 110 hektar. Saya dinilai banyak orang, "berani mati". Bayangkan, tingkat kesulitan dalam pembangunan reklamasi sangat tinggi. Kita melakukan reklamasi di satu titik, besoknya bisa bergeser sejauh 14 meter. Tapi saya bersyukur, tidak ada pekerja yang menjadi korban kecelakaan kerja.

Kedalaman reklamasi di Pantai Mutiara mencapai 3 meter sampai 5 meter. Yang menjadi persoalan, pesisir Jakarta semuanya lumpur. Ini beda dengan Singapura, di dasarnya merupakan bebatuan. Di Australia, di bawahnya pasir. Tapi di Jakarta, di bawahnya lumpur.

Kalau kami hanya sekadar reklamasi, tidak akan kuat. Jadi kami bekerja sama dengan universitas di Singapura membuat konsep dengan menurunkan karung goni hingga 10 meter-15 meter. Konsep ini mirip dengan sumbu kompor. Kami mencari cara agar air dalam lumpur dapat disedot keluar. Tekniknya banyak sekali dan mahal. Ini karena kami ingin yang terbaik, kami coba dengan berbagai konsep. Kami datangkan pasir dari pulau-pulau di Indonesia. Sungguh ini bukan pekerjaan yang mudah.

Kami pengembang pertama yang menggunakan tiang pancang untuk membangun rumah. Soal banjir, memang ada, karena air pasang sering mendadak naik. Tadinya saya tidak setuju dengan sistem polder, tapi sekarang kami membuat polder agar dapat memompa air yang cenderung terus naik.

Setelah sukses dengan reklamasi Pantai Mutiara, Intiland membangun proyek prestisius lainnya, Regatta di lahan reklamasi paling ujung. Kabarnya arsitek Regatta sama dengan arsitek yang merancang The Burj Khalifa di Dubai?
Benar, Regatta berlokasi di ujung Pantai Mutiara dan merupakan bagian dari reklamasi. Kami membangun 10 menara apartemen dan satu hotel bintang lima di kawasan itu. Arsitek yang merancang Regatta, memang sama dengan yang merancang The Burj of Arab, sekarang menjadi The Burj Khalifa, yaitu Atkins dari Inggris.

Kami melihat proyek The Burj Khalifa yang juga dibangun di lahan reklamasi. Kami minta arsitek yang sama karena Atkins itu kan perusahaan besar dengan 300-an arsitek. Kalau tidak, saya tidak mau. Akhirnya arsitek The Burj Khalifa itu sendiri yang datang ke Jakarta dan merancang Regatta.

Intiland Tower, yang sebelumnya dikenal dengan nama Dharmala Intiland, yang dibangun tahun 1980-an sudah memikirkan konsep hemat energi...
Tahun 1980-an, Intiland Tower dibangun mulai dari nol di tangan saya. Awalnya ada arsitek asal Amerika, Rudolph yang belum pernah tahu tentang Indonesia. Lalu saya ajak dia ke Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, dan Bali. Saya bilang mengapa kita harus memindahkan gedung-gedung yang ada di New York dan Tokyo ke Jakarta, padahal Jakarta punya ciri khas cuaca sendiri.

Kita lihat, rumah-rumah di Indonesia memiliki ciri atap miring. Dua ribu tahun lalu belum ada arsitek dan pemilik rumah belum mengenal desain. Kemungkinan besar dulu atap rumah rata, tapi karena sering hujan dan atap bocor, atap dimiringkan. Lalu kami berpikir, mengapa Intiland tidak mendesain gedung seperti itu? Saya tanya Rudolph apakah dia bisa merancang gedung seperti yang bayangkan, dia menjawab bisa. Dan seperti Anda lihat sendiri, Intiland Tower yang dibangun tahun 1980-an sudah green building.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com