Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

OBOR dan Kota Baru Kita

Kalau dilihat trennya, penduduk China yang tinggal di perkotaan akan mencapai satu miliar jiwa pada 2030. Bandingkan dengan Indonesia yang diperkirakan 65 persen dari 300 juta jiwa, atau hampir 200 juta penduduk.

Sejarah pembangunan kota baru di China selalu dikaitkan dengan rezim. Seperti tumbuhnya Shenzen dari kampung nelayan menjadi pusat ekonomi lekat dengan Deng Xiao-ping.

Tampilnya Pudong sebagi pusat finansial adalah hasil karya Jiang Zemines. Sedangkan sekarang Xi Jin-ping menjagokan Xiongan Smart And sustainable City sebagai karya rezimnya.

Dalam perkembangannya, China sekarang fokus pada pengembangan pusat-pusat konurbasi mega cities ke arah Delta Yangtze, klaster kota Chengdu-Chongqing dan delta sungai Pearl. Kota baru diidentifikasi sebagai megacity baru dengan penduduk rata-rata 10 juta jiwa.

Sejak awal pencanangannya One Belt One Road (OBOR) memang ditengarai akan memengaruhi pertumbuhan kota-kota, dan akan memfasilitasi interaksi antar kota di koridor ekonomi-tersebut.

OBOR sebagai inisiatif ekonomi dan politik tak pelak akan mewarnai perkembangan kawasan  yang diakibatkan oleh investasi, termasuk moderinasasi jalur sutera kuno.

Yang menarik di zaman now ini, adalah pembangunan infrastruktur konektivitas dan perkotaan ini dilakukan bersamaan dengan transformasi digital dan Internet of Things (IoT). Kedua hal ini adalah pemicu tumbuhnya kota modern dan tatanan masyarakat zaman now yang lebih cerdas.

Ketika menyapa para pebisnis China di Beijing minggu lalu dalam rangka OBOR Business Forum, saya membayangkan pengaruhnya atas usaha kita bersama untuk membangun kota-kota baru di Indonesia.

Kesempatan Bangun Konurbasi Kota Kita

Kalau kita mengikuti alur berpikir China, maka kesempatan terbentuknya konurbasi perkotaan modern di koridor Mebidangro, poros Medan-Toba, koidor Manado-Bitung dan metropolitan Sarbagita di Bali akan mengalami percepatan.

Perkembangan infrastruktur perkotaan dan konektivitas, diikuti pertumbuhan internet yang pesat, merupakan kombinasi yang ampuh. Serta merta ini menjadi tantangan utama para perencana kota zaman now, atau sebagian kami senang dipanggil sebagai planolog.

Para planolog Indonesia kini mendapat pekerjaan rumah baru tampaknya. Di tengah tekanan untuk merencana ruang hidup layak huni, kini juga harus menyikapi dengan bijak kota baru di koridor OBOR ini.

Demikian juga tawaran pemerintah Indonesia kepada investor China untuk mengembangkan konektivitas di pulau Lembeh dan  kawasan sekitar Bitung, tentu akan mengubah Manado dan sekitarnya.

Harus seperti apakah kota-kota baru kita nantinya? Apa arti "smart" dalam prakteknya di lapangan? Konektivitas OBOR dengan otomatis akan membawa integrasi platform-platform aplikasi transaksi maupun data lain nya. Akan kah masyarakat kita nanti meninggalkan uang tunai, dan bertransaksi dengan virtual?

Rencana kota harus di buat atas dasar peta-peta digital real time, sehingga pemanfaatan teknologi GIS dalam aspek pelayanan kota pun bisa dilakukan dengan mudah. 

Sudah saatnya pemerintah bersama para planolognya mengesampingkan ego sektoral yang sering menghambat proses perencanaan, dan mulai secara bersama gerak selangkah lebih dulu di depan untuk mengantisipasi. 

Arah nya cukup jelas. Kota-kota semakin compact,  berbasis teknologi, dengan perkembangan teknologi disruptif akan menjadi pendorong utama. Level kehidupan yang nyaman pun berkembang, seiring kota-kota kita dan konurbasi yang lebih luas, menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem jaringan kota-kota dunia.

Kata orang bijak, belajarlah jauh sampai kenegeri Cina. Mari para planolog bergerak selangkah di depan.

https://properti.kompas.com/read/2018/04/18/163725721/obor-dan-kota-baru-kita

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke