Setelah mudik atau "the grand exodus", kembali kita menghadapi migrasi ke perkotaan. Pertanyaan menggelitik saya, bagaimana kota seperti Jakarta harus menghadapi migrasi ke kota?
Saya sangat percaya merencanakan Jakarta itu bukan seperti membangun kota kecil di kampung.
Jakarta sebagai salah satu mega city dunia, tentu menjadi pusat perhatian penduduk di negara Indonesia. Diperkiraan total pendatang baru sebanyak 70.000 orang pasca Lebaran kali ini.
Kita harus memandang Jakarta seperti Shanghai, New York, Tokyo, Mexico City dan kota-kota besar lainnya di dunia.
Karena itu, dibutuhkan kecakapan, dana, kepemimpinan, kaidah-kaidah ekonomi dan kualitas perencanaan kota yang sama kualitasnya seperti kota besar dunia tersebut.
Konsekuensinya, kualitas wali kota atau gubernur kota Jakarta, harus sekelas atau lebih baik dari kota dunia.
Lalu bagaimana Jakarta harus menghadapi gelombang urbanisasi?
Urbanisasi merupakan fenomena planet bumi, dan menjadi perhatian semua kalangan. Habitat 3 memandang bahwa urbanisasi seharusnya bisa menjadi produktif, apabila pemerintah dan masyarakat dapat melihat sisi lainnya.
Berbagai solusi dan kebijakan untuk antisipasi urbanisasi dilakukan di berbagai belahan dunia berkembang dan sedang berkembang. Ada yang berhasil, namun banyak pula yang justru menciptakan tekanan sosial dan politik di negara tersebut.
China menerapkan 'hukou' sejak lama, yaitu sistem pembatasan populasi perkotaan melalui pendaftaran penduduk di tempat asal, dan membatasi akses para migran kepada pelayanan sosial, pendidikan dan pelayanan medis di kota besar. Penduduk imigran menjadi warga kelas dua di kota besar.
Tahun 2010, sudah 10 kota berpenduduk di atas 10 juta jiwa, dan 10 kota berpenduduk antara 5 juta hingga 10 juta jiwa. Tahun 2011, lebih dari setengah penduduk negeri Tirai Bambu ini tinggal di perkotaan.
Saat ini urbanisasi menjadi kebijakan utama nasional, melalui program "Rencana Urbanisasi Baru Nasional 2014-2020." Dalam program ini, ditentukan daerah pertumbuhan utama akan semakin cepat berkembang menjadi perkotaan.
Di negara-negara besar Afrika, pemerintah kota-kota besar menghadapi tantangan mencari solusi untuk membiayai peningkatan tunjangan sosial bagi para migran dari desa.
Beberapa studi dalam rangka Habitat 3 memperlihatkan banyak pertentangan antara usaha membuat urbanisasi yang "berorientasi warga" dengan menjadikannya program prestisius para politisi.