JAKARTA, KOMPAS.com - Pengembangan mekanisme perumahan rakyat baik rumah swadaya maupun rumah susun (rusun) akan lebih efektif jika pendekatannya melalui konsep komunitas.
Menurut pengamat perumahan Jehansyah Siregar, untuk menyediakan perumahan rakyat bisa memberdayakan kelompok-kelompok marginal atau kelompok masyarakat di kalangan bawah.
"Contohnya, kelompok-kelompok koperasi pengusaha tahu dan tempe, pengemudi angkot, pedagang kaki lima (PKL) terutama di perkotaan, komunitas permukiman kumuh yang akan digusur di bantaran sungai kolong jembatan," ujar Jehansyah kepada Kompas.com, Kamis (31/12/2015).
Jehansyah mengatakan, komunitas-komunitas ini rentan digusur akibat penertiban kawasan. Penggusuran tidak salah, karena fungsinya untuk menertibkan kawasan menjadi lebih rapi dan teratur.
Namun, dari sisi penyediaan rumah, pemerintah harus memberi solusi atas masalah orang-orang yang digusur ini.
Hal tersebut diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 H, yang mewajibkan pemerintah memastikan masyarakat sejahtera secara lahir dan batin di lingkungan yang baik dan sehat.
Dalam hal ini, menurut Jehansyah, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang bertanggung jawab untuk menyediakan rumah bagi rakyat.
Jika pemerintah menyediakan rusun, peruntukan bagi kelompok-kelompok masyarakat, akan memudahkan pendataan sehingga tidak bisa ada yang keluar-masuk seenaknya di rusun tersebut.
Pemerintah bisa membatasi paling banyak satu kelompok berisi maksimal 200 Kepala Keluarga.
Setelah itu, pemerintah bersama-sama komunitas, memikirkan lokasi rusun tersebut, apakah yang jauh, dekat, atau sedang dari tempat asal mereka.