Dua bangunan yang dibiayai oleh UNESCO adalah Kafe Historia dan Kedai Seni Djakarte. Masing-masing mendapat alokasi dana senilai Rp 250 juta.
Di Kafe Historia, kata Arya, pekerjaan dimulai dengan persiapan untuk memperbaiki atap sebagai bagian terpenting bangunan tersebut. Setelah atap, perbaikan fokus pada dinding.
Saat memperbaiki atap Historia, Arya menemukan, secara visual, baja-baja yang membentuknya memang masih baik.
Namun, ketika diperhatikan lebih jeli, sudah banyak kerusakan yang terjadi akibat suku baja yang dicuri. Secara struktural, hal tersebut tentu membahayakan.
Selain atap, dindingnya juga diperbaiki. Hal tersebut diakui Arya cukup sulit, karena lokasinya dekat dengan laut, bangunan ini terkena angin laut lebih sering. Akibatnya, dinding akan mudah mengeluarkan garam dan lebih mudah rapuh.
"Pekerjaan tersulit ini, karena kita bermain dengan angin laut," jelas Arya.
Sementara itu, di Kedai Seni Djakarte, pengerjaan tidak banyak berbeda yakni dimulai dari atap. Sebelumnya, kondisi atap kedai ini melengkung, dengan kaca jendela berlubang di sana sini dan ada yang tidak bisa dibuka.
Arya meneliti berbagai bangunan dan menemukan bahwa seharusnya atap Kedai Seni Djakarte dibuat dari papan cukup tebal.
Namun, dia memutuskan untuk menggunakan kayu asli pada bagian rusuknya. Sementara di atasnya, menggunakan material kayu modern yakni kayu lapis.
Arya mengaku, biaya yang diberikan UNESCO sangat terbatas. Banyak bagian yang seharusnya diganti dengan yang asli, tapi tidak dilakukannya. Alih-alih menggunakan yang asli, Arya lebih memilih untuk mencari material yang semirip mungkin.