JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana pengesahan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) hendaknya ditunda, karena wacana ini hanya akan menimbulkan sentimen negatif pasar. Termasuk pasar properti.
"Harusnya ditunda karena orang yang mempunyai kemampuan Rp 5 miliar terbatas dengan luasan yang terbatas juga. Begitu dikenakan PPnBM 20 persen, daya beli turun, omzetnya turun," ujar Ketua Kehormatan REI, Enggartiasto Lukita, kepada Kompas.com, di Jakarta, Rabu (8/7/2015).
Enggar mengatakan, hal tersebut terlihat seperti asumsi. Namun, asumsi ini dibuatnya secara linier dengan hitungan yang sederhana. Ia mencontohkan, seseorang yang omzetnya Rp 50 miliar, kalau dikenakan pajak 20 persen akibat membeli hunian mewah, omzetnya tidak secara otomatis bertambah Rp 10 miliar. Sebaliknya, omzetnya pasti turun.
Kalau turun, jumlah yang diterima dari pengenaan PPnBM ini tidak akan lebih tinggi. Dari Rp 50 triliun, omzet akan turun 40 persen. Kalau omzet seseorang Rp 30 triliun, selisih penurunannya Rp 20 triliun.
Sementara 75 persen dari Rp 20 triliun adalah beban biaya material. Jadi, penurunannya Rp 15 triliun. "Cobalah menteri keuangan dan direktur jenderal pajak belajar berhitung. Hitungannya sederhana," sebut Enggar.
Di sisi lain, tambah dia, per Juni 2015, omzet secara keseluruhan di dunia properti, turun 40 persen. Bulan lalu 30 persen. Hal tersebut disebabkan oleh banyak hal.
Seharusnya, saat kondisi ekonomi melemah seperti sekarang, lebih banyak lagi peraturan yang dilonggarkan. Oleh karena itu, Enggar memberikan apresiasi berubahnya kebijakan loan to value atau LTV menjadi 80 persen. Namun, itu saja tidak cukup, melainkan harus terintegrasi secara keseluruhan dengan kebijakan yang lain.
Menurut Enggar, peraturan PPnBM perlu dikembalikan menjadi yang dulu yaitu berdasarkan luasan unit, bukan harganya. "Jangan intensifikasi ini mewah, harganya mahal, lalu dikategorikan kena pajak," ucap dia.
Tidak efektif
Sebelumnya, Ketua Umum DPP REI Eddy Hussy mengatakan peralihan perhitungan PPnBM dari luasan menjadi harga, tidak akan efektif. Menurut dia, dengan menghitung pajak berdasarkan luasan, lebih baik karena akan sulit terjadi permainan di lapangan.
"Harga itu kan fluktuasi setiap tahun, baik harga tanah maupun unit. Kalau berdasarkan harga, nanti bangunan yang diberikan ke konsumen jadi tidak maksimal, konsumen lagi yang benahi," jelas Eddy.
Ia menambahkan, memperhitungkan luasan lebih ideal dibandingkan dengan harga. Sulit menilainya, karena kondisi harga di tiap kota berbeda.
Padahal, barang disebut mewah karena langka dan dianggap spesial. Kalau pasaran di Jakarta misalnya, angka tertentu tidak langka, berarti tidak bisa dikatakan mewah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.