JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Pengurus Pusat Realestat Indonesia (REI) memahami bahwa pemerintah ingin memenuhi target penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Meski begitu, rencana revisi peraturan pajak properti tentang penggolongan barang mewah dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) bukanlah solusi yang tepat.
"Harga jual minimum unit rumah tapak sebesar Rp 5 juta per meter persegi dan Rp 13,3 juta per meter persei untuk apartemen sudah dikategorikan barang 'sangat mewah'. Kami merasa patokan harga itu sangatlah tidak mungkin sebab harga jual rusunami di wilayah Jabodetabek saja sudah di kisaran Rp 9 juta per meter persegi," jelas Ketua Umum DPP REI Eddy Hussy di Jakarta, Selasa (27/1/2015).
Dia melanjutkan, apabila peraturan tersebut direvisi, yaitu harga properti seharga Rp 2 miliar dianggap masuk dalam kategori barang 'sangat mewah', maka penjual akan terkena PPnBM. Sektor properti, menurut Eddy, akan terbebani pajak penjualan sebesar 45 persen.
"PPN 10 persen, PPh 5 persen, PPnBM 20 persen, Pajak sangat mewah 5 persen dan BPHTB 5 persen. Belum lagi pajak-pajak yang harus ditanggung oleh pengembang sebelumnya seperti pajak kontraktor, akuisisi lahan, sertifikat induk, dan sebagainya," tutur Eddy.
Jika pemerintah bertujuan memenuhi target penerimaan negara melalui sektor pajak, Eddy mengusulkan untuk mencari alternatif lain. Sebagai contoh, pemerintah bisa membuka kepemilikan properti bagi warga negara asing (WNA).
"Seperti diketahui, negara-negara lain bisa memanfaatkan properti sebagai sumber pendapatan negara yang cukup besar. Properti di Indonesia cukup diminati oleh WNA dan kalangan ekspatriat yang bekerja di Indonesia," sebut Eddy.
Pemerintah, tambah dia, bisa membuat kebijakan guna mematok harga jual minimal unit properti yang boleh dibeli WNA. Kebijakan tersebut berupa besaran pajak yang lebih besar untuk dibebankan kepada konsumen dari kalangan pendatang.
Ketua Kehormatan DPP REI, Teguh Satria, juga menyarankan hal senada dengan Eddy soal kepemilikan properti bagi WNA.
"Kalau bisa jual ke orang asing, 3-5 tahun saja, kita bisa jual 10.000 unit, kalau dikali Rp 5 miliar (harga per unit) totalnya itu Rp 50 triliun. Kasarnya, ngapain (pemerintah) ngutak-ngutik (properti yang harganya) Rp 1,2 miliar - Rp 1,7 miliar," ucap Teguh.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tengah menyiapkan revisi terkait obyek pemungutan Pajak Penghasilan (PPh 22) terhadap transaksi barang yang tergolong 'Sangat Mewah'.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 253/PMK/03/2008 tertanggal 31 Desember 2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah.
Pemerintah juga berencana mengubah PMK Nomor 130/PMK.011/2013 tertanggal 26 Agustus 2o13 tentang Perubahan atas MK Nomor 121/PMK/011/2013 Tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Wacana perubahan ketentuan tersebut, yaitu terkait pungutan pajak atas transaksi rumah tapak beserta tanahnya yang dikelompokkan barang 'Sangat Mewah' dari semula Rp 10 miliar dan luas bangunan dan tanah lebih dari 500 persegi, menjadi Rp 2 miliar dan luas bangunan dan tanah lebih dari 400 meter persegi.
Selanjutnya, untuk pungutan pajak atas hunian vertikal yang dikelompokkan barang 'Sangat Mewah' dari semula Rp 10 miliar dan luas bangunan lebih dari 400 meter persegi, akan diubah menjadi seharga Rp 2 miliar dan luas bangunan lebih dari 150 meter persegi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.