JAKARTA, KOMPAS.com - Ternyata bukan hanya pengembang yang diadukan oleh konsumen terkait kasus properti. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga merilis data keluhan terhadap bank mengenai Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang memberatkan.
Persoalan KPR ini menempati posisi ketiga atau 15,7 persen dari total 210 kasus perbankan yang ditampung oleh YLKI.
Menurut Koordinator Pengaduan dan Hukum YLKI, Sularsi, kasus KPR ini menjadi masalah di dua sektor, yaitu properti dan perbankan. KPR kerap memberatkan masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah (MBR) dalam membeli tempat tinggal layak huni.
“Banyak keluhan mengenai KPR yang menyebabkan konsumen tak jadi memiliki rumah yang telah dibeli. Salah satu kasus malah membuat KPR subsidi menjadi komersial, itu kan memberatkan MBR,” ujar Sularsi ketika diwawancarai Kompas.com di Jakarta, Kamis (12/02/2015).
Beberapa bank yang diadukan oleh konsumen terkait KPR, antara lain Bank Nasional Indonesia (BNI), Bank Tabungan Negara (BTN), Bank CIMB Niaga, dan Bank Mega. Sularsi mengatakan, ada indikasi dari konsumen bahwa bank yang menyediakan KPR hanya menguntungkan pihak pengembang.
“Ada indikasi KPR itu tak menguntungkan nasabahnya, tapi hanya menguntungkan bank dan pengembang yang bekerja sama dalam program KPR ini. Harusnya kan sama-sama untung. Kita menginginkan hasil win-win solution di tiap kasus,” lanjut Sularsi.
Adapun kasus KPR yang diadukan di sektor perbankan pada 2014 terbagi dalam 11 jenis, antara lain:
1. Kredit macet KPR (11 kasus)
2. Suku bunga (3 kasus)
3. KPR subsidi berubah menjadi komersil (1 kasus)
4. Agunan/jaminan tidak diserahkan (2 kasus)
5. Pengajuan Kredit Tanpa Agunan (KTA) ditolak (2 kasus)
6. Status sertifikat rumah tidak diberikan (4 kasus)
7. Pelunasan pinjaman KPR bermasalah (6 kasus)
8. Pembatalan KPR (1 kasus)
9. Surat keterangan lunas tidak terbit (1 kasus)
10. Somasi dari bank atas ketidakmampuan nasabah (1 kasus)
11. Surat Penegasan Persetujuan Penyediaan Kredit (1 kasus)