Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengembang Kritik Program Satu Juta Rumah

Kompas.com - 30/01/2015, 22:50 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Program satu juta rumah yang dicanangkan Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak akan berhasil bila masalah fundamental tidak diselesaikan. Masalah fundamental cenderung klasik yang menghambat realisasi pembangunan perumahan Nasional tersebut adalah perizinan, pengadaan lahan, infrastruktur umum, dan pembiayaan.

Komisaris PT Hanson Land International Tbk., Tanto Kurniawan, menyatakan pesimismenya sekaligus kritikan keras kepada Pemerintah, terkait program Satu Juta Rumah. Program ini, menurut Tanto tidak akan jalan selama pemerintah hanya menuntut pengembang sementara terobosan dan gebrakan yang diperlukan tidak ada.

Pesimisme dan kritikan Tanto dilontarkan dalam menanggapi pernyataan Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Jusuf Kalla, Sofyan Wanandi yang menantang pengembang untuk jangan hanya mengeluh, namun sebaliknya segera menuntaskan program Satu Juta Rumah. Sofyan berbicara saat diskusi panel "Program Pengadaan Sejuta Rumah: Peluang & Tantangan", Rakornas DPP-DPD REI di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta, Kamis (29/1/2015).

"Pemerintah jangan hanya bicara dan menuntut pengembang, tapi juga mereka harus membuat gebrakan dengan memotong mata rantai perizinan, misalnya," ujar Tanto kepada Kompas.com, Jumat (30/1/2015).

Tanto menuturkan, untuk mendapatkan perizinan membangun perumahan, memakan biaya besar dan membutuhkan proses yang melelahkan sehingga menimbulkan biaya tinggi. Proses perizinan menjadi lebih rumit karena peraturan di masing-masing daerah, seringkali berbeda.

"Peraturan daerah tersebut misalnya dalam hal penyedian lahan makam yang tidak jelas dan membuat para pengembang geleng-geleng kepala," tambah Tanto.

Masalah lain yang tak kalah vital, lanjut dia, adalah infrastruktur umum seperti jalan umum yang selama ini dibebankan pembuatan serta pemeliharaannya kepada pengembang. Belum lagi biaya penerangan jalan umum (PJU) yang harus dipikul pengembang. Padahal biaya tagihan listriknya juga sudah dibebankan kepada konsumen.

Seharusnya, kata Tanto, pemerintah tidak hanya melihat dari permukaan air saja tapi menyelam ke dalam air karena yang muncul di permukaan biasanya yang indah-indah. "Sedangkan "sampah dan kotoran" biasanya mengendap di dasar air dan tidak terlihat dari permukaan," ucap Tanto.

Tanto juga mengeluhkan janji yang diabaikan pemerintah terkait kredit konstruksi. Pemerintah, menurut dia, selalu menjanjikan fasilitas kredit akan disediakan untuk konsumen rumah murah, namun seringkali lupa untuk menyediakan kredit konstruksi bagi pengembang.

"Masalah yang sering lupa dipikirkan pemerintah adalah bagaimana si pengembang dapat dana murah untuk konstruksinya? Kalau kredit konstruksinya berbunga tinggi akan sangat memberatkan konsumen. Pasalnya bunga tersebut dibebankan pada harga jual juga yang akan dibayar oleh si konsumen," tandas Tanto.

Jadi, tambah Tanto, seharusnya pemerintah memberikan fasilitas khusus bagi pengembang yang membangun rumah sederhana.

Tanto kemudian bercerita, dulu peran menyediakan kredit konstruksi berbunga rendah  ditangani oleh Bank Tabungan Negara (BTN). Sehingga, pada saat rumahnya jadi, BTN mencairkan kredit pemilikan rumah (KPR) kepada pengembang yang kemudian mereka gunakan untuk membayar kredit konstruksi.

"Peranan BTN akan sangat dominan di sini. Jadi, pemerintah jangan selalu menganggap pengembang manja dan sering mengeluh, tanpa melihat dan memahami permasalahan pengembang," tandas Tanto.

Pesimisme Tanto makin menjadi, saat semua beban-beban ditimpakan kepada pengembang. Dia pun mengingatkan pemerintah yang bertanggung jawab dan mengemban amanat menyediakan fasilitas papan dan melakukan eksekusi pembangunannya.

"Pemerintah yang bertanggung jawab dan melalui Perumnas menyediakan perumahan rakyat. Akan tetapi, pada kenyataannya, peran swasta justru yang diperbesar. Seharusnya secara timbal balik pemerintah juga bertindak sebagai fasilitator yang aktif bukan pasif seperti saat ini," pungkas Tanto.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com