Tanpa tanah, pemerintah tidak akan mampu merealisasikan target tersebut. Terlebih, belanja pengadaan tanah khusus rumah rakyat yang dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya sebesar Rp 70 miliar.
Padahal, untuk menutup kebutuhan tanah khusus rumah rakyat, setidaknya dibutuhkan dana sekitar Rp 5 triliun. Jadi, anggaran Rp 70 miliar untuk pengadaan tanah dalam rangka mengurangi kesenjangan hunian (backlog) 15 juta unit, masih kurang.
Menurut Staf Ahli Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Paul Marpaung, selain jumlah anggaran belanja tanah yang tidak proporsional, masalah lain yang menghadang adalah belum dibentuk badang pengelolanya. Jadi, anggaran tersebut tidak bisa langsung disalurkan.
"Seharusnya pemerintah (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) punya badan pencadangan tanah khusus untuk bangun rumah yang dibeli masyarakat. Sudah ada Rp 70 miliar, tapi badannya tidak ada," ujar Paul kepada Kompas.com, Rabu (14/1/2015).
Paul menjelaskan, terdapat usulan dari internal Kementerian PU-Pera bahwa anggaran tersebut dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU) saja. Sayangnya, menurut Paul, setelah penggabungan dua kementerian, yaitu Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, BLU menjadi tidak jelas.
Paul menambahkan BLU di bawah Kementerian PU-Pera bertugas khusus untuk penyaluran Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). "Ada yg mengatakan, ini bukan ranah PU-Pera, tapi BPN (Badan Pertanahan Nasional). BPN kan tidak mengurusi khusus perumahan. Badan yang dimaksud, harus dibawah PU-Pera," imbuh Paul.
Pada akhirnya, kata dia, dana Rp 70 miliar ini dialihkan sebagai belanja modal non tanah, yaitu rumah yang nantinya bisa diperjualbelikan. Dia pun merasa, komitmen pemerintah pusat dan dewan eksekutif untuk menyediakan tanah bagi perumahan rakyat, kurang maksimal.
"Perumnas yang sudah mengajukan anggaran Rp 1,5 triliun untuk tanah saja ditolak," kata Paul, seraya menegaskan, kalau pemerintah niat membantu masyarakat, harusnya all out.
"Ini perumahan tidak maju-maju, malah terkesan mundur," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.