Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Awasi, Kebijakan Pemerintahan SBY Saat "Injury Time"!

Kompas.com - 04/10/2014, 16:05 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mendekati masa akhir jabatan, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, justru semakin agresif mengeluarkan kebijakan dan target-target pembangunan Nasional. Di antaranya adalah target pengurangan kawasan kumuh, dan pembangunan infrastruktur dasar.

Melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, pemerintah memanfaatkan peringatan Hari Habitat Dunia 2014 dengan menargetkan pengurangan kawasan kumuh hingga nol persen pada tahun 2019.

Ditjen Cipta Karya mengidentifikasi kebutuhan pendanaan untuk mencapai target kawasan permukiman kumuh hingga nol persen tersebut, sekitar Rp 22,4 triliun dari total target yang diharapkan dari APBN sebesar Rp 170 triliun.

Namun, target tersebut dianggap ahli perencana tidak realistis dan terlalu memaksakan karena digelontorkan saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memasuki masa injury time.

Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP), Bernardus Djonoputro, menilai, Kementerian PU memanfaatkan popularitas Hari Habitat Dunia dengan mengunci target mendatang secara bombastis. Bahkan terlihat sangat utopis, dan mengganggu nalar.

Lebih dari itu, yang menjadi masalah bukan hanya targetnya yang tidak realistis, melainkan juga dilansir saat proses transisi pemerintahan.

"Harus diawasi. Ini lame duck government. Sangat memaksakan kebijakan dan target dikeluarkan saat masa pemerintahan SBY akan berakhir. Target 0 persen permukiman kumuh dengan anggaran Rp 170 triliun? Mari kita hayati bersama. Ini menunjukkan pejabat publik tidak "sensible"," ujar Bernardus kepada Kompas.com, Sabtu (4/10/2014).

Dia memaparkan, permukiman kumuh tidak bisa diselesaikan secara instan. Permukiman kumuh terjadi merata di semua kota dan kabupaten, baik dalam bentuk enclave maupun menyatu dengan daerah permukiman lain dalam satu hamparan.

Angka absolut dalam persen ruang, akan mustahil mencapai nol, karena kriteria kumuh akan terus bergerak sejalan dengan tingkat perekonomian. Hal ini juga berkaitan dengan ketimpangan pasokan dan ketersediaan (backlog) perumahan, sekitar 15 juta unit yang dibutuhkan terutama oleh Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

"Oleh karena itu kebijakannya haruslah holistik dan memiliki dimensi teritori ruang di kota atau kabupaten,  dengan mengadopsi karateristiknya masing-masing. Urban regeneration, hunian MBR bertingkat di kawasan kota dan pengembangan kota-kota baru sebagai kutub pertumbuhan dan supply perumahan berimbang, adalah tiga hal yang harus dilakukan pemerintah," jelas Bernardus.

Menurut dia, pemerintah harus menjadikan pengembangan kota baru mandiri sebagai prioritas utama, untuk mencapai tingkat kenyamanan hidup kota yang semakin baik. Pemerintah juga harus memberdayakan BUMN-nya, dalam hal ini Perumnas.

"Perumnas harus segera dikembalikan ke khittah-nya sebagai pengembang kota baru dan penyedia rumah terjangkau. Perumnas akan menjadi penglima dalam mencapai hunian berimbang. Pengetatan kontrol pemerintah dan pemprov/pemkab/pemkot terhadap pengembang swasta juga harus ditingkatkan," ujar Bernardus.

Tidak hanya target Kementerian PU yang dianggap bombastis, Bappenas pun meliris target tak kalah fantastis. Bappenas menargetkan infrastruktur dasar senilai Rp 6.541 triliun, terpenuhi pada 2019 yang dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

"Itu pemikiran nyeleneh. Angka enam ribu triliun sangat misleading, kalau pemerintah menganggap swasta adalah obat segala penyakit. Kebijakan ini kurang bertanggung jawab. Sama seperti Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang akhirnya tak satu pun Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS) jalan sampai saat ini," tambah Bernardus.

Jadi, kata dia, masyarakat harus mengawasi kebijakan saat injury time dari pemerintahan SBY. "Ini merupakan permainan status quo yang akan mengunci pemerintah baru. Harus diawasi," tandas Bernardus.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau