Risiko terburuk yang akan terjadi adalah pasar properti kian membebani dan lebih jauh lagi mengancam pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang saat ini masih berada pada kisaran 7,5 persen.
"Pengembang tidak mampu membangun kepentingan pasar yang memadai. Mereka enggan memangkas harga jual, padahal calon pembeli justru menantikan penurunan harga. Mereka khawatir bahwa penyesuaian harga berlebihan dapat memperkuat aksi wait and see konsumen," kata Direktur RIset Centaline, Zhang Haiqing.
Di Nanjing, ibukota provinsi Jiangsu di Cina timur, penjualan sembilan proyek perumahan yang direncanakan berlangsung pada semester pertama tahun ini telah ditunda hingga akhir tahun. Ini menggenapi catatan jumlah proyek hunian yang dilansir ke pasar Juli 2014 di 21 kota besar Tiongkok anjlok 25 persen ketimbang Juni.
"Cepat atau lambat, pembeli mengharapkan harga apartemen dan hunian akan jatuh. Kelemahan pasar properti tidak berubah, meskipun penyesuaian kebijakan dilakukan," kata ekonom Nomura Holdings Cina, Hua Changchun.
Penundaan penjualan proyek yang berlangsung selama semester pertama, didorong merosotnya permintaan akibat pengetatan kredit dan pembatasan pembelian. Merosotnya penjualan tercatat sebesar 9,2 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Setelah setahun penuh meningkat 26,6 persen. Sedangkan pembangunan properti baru, jatuh 16,4 persen.
Sementara itu, persediaan rumah baru yang tidak laku di 20 kota besar melonjak menjadi rata-rata lebih dari 23 bulan penjualan di bulan Juni.
"Jika permintaan tidak mampu mengakomodasi pasokan properti yang berlebih, kegiatan konstruksi juga akan melambat secara signifikan," Moodys Investors Service memperingatkan.