Untuk memperkuat kebijakan tersebut, kementerian memaksa perusahaan-perusahaan, termasuk yang bergerak di sektor konstruksi dan properti, mempekerjakan tenaga lokal dengan komposisi lebih besar ketimbang tenaga kerja asing.
Selain itu, kementerian juga menerapkan tambahan biaya visa untuk perusahaan kontraktor dan pengembang yang ingin mendatangkan pekerja asing. Jelas, kebijakan ini dianggap mengada-ada dan merugikan perusahaan skala kecil menengah.
"Harga visa terlalu mahal, tambahan biaya 2.400 riyal (Rp 7,5 juta) per tahun untuk setiap ekspatriat tidak masuk akal. Ini menyebabkan beberapa kontraktor gulung tikar dan telah meninggalkan proyek mereka," kata seorang sumber.
Menurut data Kamar Dagang Arab Saudi, dari sejumlah 200.000 perusahaan yang beroperasi sebagai kontraktor bangunan, sekitar 100.000 dilaporkan telah menutup usahanya.
Berbagai proyek yang tengah berjalan pun, untuk sementara dibekukan. Sementara proyek lain mengalami kesulitan memulai konstruksinya. Padahal, Arab Saudi punya proyek senilai 3 triliun Riyal hingga 2020 mendatang.
Sementara kontraktor yang membutuhkan 50 visa atau lebih bagi para pekerja asing terpaksa berlomba mendapatkan proyek skala raksasa bernilai ratusan miliar atau triliunan rupiah. Karena ongkos konstruksi dan biaya tambahan visa bisa tertutupi.
'Nitaqat' memang telah membuat kondisi sektor konstruksi mengalami penundaan. Bahkan, lebih parah lagi, terhenti. Sebelumnya, sektor ini harus menanggung beban defisit lahan dan meningkatnya harga material bangunan yang sebagian besar diimpor dari mancanegara.
"Banyak proyek baik di sektor publik dan swasta yang tertunda. Berbagai proyek yang sedang dibangun di Riyadh, contohnya, mangkrak ditinggalkan pekerjanya, dan aktivitas pembangunan tidak terlihat," kata perwakilan perusahaan konstruksi.
Pengangguran
Kampanye 'nitaqat' sejatinya bertujuan untuk membebaskan Arab Saudi dari pengangguran, mengingat tingkat pengangguran saat ini mencapai 13 persen. Mereka mengatur masuknya ekspatriat ke pasar tenaga kerja melalui sebuah dekrit yang mengharuskan semua perusahaan mempekerjakan sejumlah karyawan domestik, berdasarkan ukuran perusahaan.
Untuk memastikan dekrit tersebut berjalan efektif, pemerintah memperkuatnya dengan melakukan razia di seluruh perusahaan yang mempekerjakan ekspatriat yang tidak memiliki dokumentasi lengkap.
Sejak Maret 2013, hampir satu juta orang asing telah dipulangkan ke negaranya masing-masing. Dari sejumlah itu, 137.000 di antaranya dikategorikan sebagai pekerja ilegal yang telah ditangkap dan dideportasi bulan lalu. Penangkapan tersebut membuat sejumlah ekspatriat menahan diri muncul di depan publik.