Buntutnya, pada 13 Mei 2014 lalu,
Bank Sentral China menyerukan kepada pada pemberi pinjaman terbesar untuk mempercepat pemberian KPR, termasuk kepada pengembang besar China, Vanke Co dan Greentown China Holdings Ltd. Keduanya diminta memangkas harga properti untuk memikat pembeli. "Pasar properti China di ambang yang sangat berbahaya," kata Xu Gao, ahli ekonomi di Everbright Securities Co yang berbasis di Beijing."
Kekhawatiran tentang perlambatan pasar menyebabkan melemahnya harga dan penjualan ini berubah menjadi lingkaran setan," ujar Gao, yang sebelumnya pernah bekerja di Bank Dunia, dalam sebuah wawancara telepon kemarin.Seperti diberitakan sebelumnya, kali ini tingkat penjualan rumah yang mengalami kemerosotan di China sebesar 18 persen per April 2014. Pengetatan kredit dituding sebagai penyebab utama buruknya kinerja penjualan, sekaligus menambah sinyal perlambatan ekonomi terbesar kedua di dunia ini.
Biro Statistik Nasional setempat melaporkan, tingkat penjualan rumah pada April tahun ini "hanya" 67 miliar dollar AS atau setara Rp 771 triliun. Padahal, pada bulan sebelumnya mencapai Rp 949,3 triliun. Dengan begitu, sepanjang kuartal I, nilai penjualan melorot 9,9 persen ketimbang periode yang sama tahun lalu, menjadi 1,53 triliun yuan.
Tak hanya penjualan rumah yang jeblok, Biro Statistik Nasional juga mencatat penurunan penjualan terjadi pada bangunan komersial. Hingga April, merosot 7,8 persen menjadi 1,83 triliun yuan dibanding periode yang sama tahun lalu.
Perpanjangan kebijakan pengetatan kredit secara Nasional untuk meredam ledakan utang, ikut memengaruhi kinerja penjualan. Di 54 kota selama libur hari buruh 1-3 Mei lalu, penjualan anjlok 47 persen menjadi hanya 236.000 meter persegi. Catatan ini merupakan terendah dalam sejarah.