Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tiongkok Diambang "Bubble"?

Kompas.com - 03/05/2014, 14:17 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

KOMPAS.com - Kota-kota lapis kedua dan ketiga di Tiongkok yang tak berpenghuni, dianggap sebagai fenomena bubble (gelembung) mini sektor properti. Betapa tidak, setiap tahun para pengembang membangun hunian dalam jumlah besar di kota-kota kecil tersebut. Sementara tingkat penjualan terus anjlok.

Kondisi di kota-kota utama tak kalah mengkhawatirkan. Karena harga sudah sangat tinggi, tak mungkin lagi terjadi pertumbuhan seperti yang diharapkan. Sebaliknya, investor justru beramai-ramai menjual aset propertinya.

Yang paling menonjol adalah aksi orang terkaya di Asia, Li Ka-shing. Ia diketahui telah menjual sejumlah aset di Tiongkok daratan dan Hongkong. Oktober 2013 lalu, Ka-shing melego gedung perkantoran Oriental Financial Center senilai 1,2 miliar dollar AS atau ekuivalen dengan Rp 13,8 triliun. Sebulan sebelumnya, dia juga menjual Metropolitan Plaza di Guangzhou dengan banderol harga 387 juta dollar AS (Rp 4,4 triliun).

Kondisi tersebut jelas membuat berbagai pihak khawatir sekaligus waspada. Tak mengherankan bila para pengembang Tiongkok memilih untuk melarikan modalnya ke mancanegara. Menurut catatan Colliers International arus keluar modal dari Tiongkok daratan ke pasar properti internasional terus meroket dari 69 juta dollar AS (Rp 795 miliar) pada 2008 menjadi 16 miliar dollar AS (Rp 184,5 triliun) pada tahun lalu.

Sementara untuk tahun ini, Colliers memperkirakan arus modal China yang beredar di pasar properti internasional akan mencapai 32 miliar dollar AS (Rp 369,1 triliun).
 
BusinessInsider memublikasikan bocoran rekaman wawancara Wakil Ketua Vanke Group sebagai pengembang properti terbesar Tiongkok, Mao Daqing, dengan The Telegraph, mengenai kemungkinan gelembung properti di negaranya.

Mao berpikir pasar properti Tiongkok tidak terlihat baik. Pada tahun 1990 jumalh total nilai lahan Tokyo sekitar 63,3 persen dari produk domestik brutto/PDB Amerika Serikat. Sementara di Hongkong mencapai 63,3 persen pada tahun 1997. Sekarang, nilai total lahan di Beijing adalah 61,6 persen dari PDB AS. Ini merupakan kondisi yang sangat berbahaya.

"... Secara umum, saya percaya bahwa Tiongkok telah mencapai batas kapasitas untuk membangun proyek hunian baru. Saat ini hanya kota lapis ketiga dan keempat saja yang memiliki potensi untuk ekspansi kapasitas," ujar Mao.

Meski demikian, ia tidak melihat ada kemungkinan untuk kenaikan harga rumah, terutama di kota-kota dengan persediaan perumahan banyak, kecuali pemerintah mendorong injeksi dana triliunan dollar AS. Beijing dan Shanghai masuk daftar di antara kota-kota paling mahal di dunia dalam hal properti menengah dan mewah.

Mao juga mengatakan bahwa tindakan keras Tiongkok terhadap korupsi telah mendorong  banyak anggota Partai Komunis yang ingin menjual rumah mereka untuk menghindari tertangkap anggota audit. Hal ini malah semakin menambah jumlah pasokan rumah dan memaksa mereka untuk memangkas harga jual.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com