Kondisi di kota-kota utama tak kalah mengkhawatirkan. Karena harga sudah sangat tinggi, tak mungkin lagi terjadi pertumbuhan seperti yang diharapkan. Sebaliknya, investor justru beramai-ramai menjual aset propertinya.
Yang paling menonjol adalah aksi orang terkaya di Asia, Li Ka-shing. Ia diketahui telah menjual sejumlah aset di Tiongkok daratan dan Hongkong. Oktober 2013 lalu, Ka-shing melego gedung perkantoran Oriental Financial Center senilai 1,2 miliar dollar AS atau ekuivalen dengan Rp 13,8 triliun. Sebulan sebelumnya, dia juga menjual Metropolitan Plaza di Guangzhou dengan banderol harga 387 juta dollar AS (Rp 4,4 triliun).
Kondisi tersebut jelas membuat berbagai pihak khawatir sekaligus waspada. Tak mengherankan bila para pengembang Tiongkok memilih untuk melarikan modalnya ke mancanegara. Menurut catatan Colliers International arus keluar modal dari Tiongkok daratan ke pasar properti internasional terus meroket dari 69 juta dollar AS (Rp 795 miliar) pada 2008 menjadi 16 miliar dollar AS (Rp 184,5 triliun) pada tahun lalu.
Sementara untuk tahun ini, Colliers memperkirakan arus modal China yang beredar di pasar properti internasional akan mencapai 32 miliar dollar AS (Rp 369,1 triliun).
BusinessInsider memublikasikan bocoran rekaman wawancara Wakil Ketua Vanke Group sebagai pengembang properti terbesar Tiongkok, Mao Daqing, dengan The Telegraph, mengenai kemungkinan gelembung properti di negaranya.
Mao berpikir pasar properti Tiongkok tidak terlihat baik. Pada tahun 1990 jumalh total nilai lahan Tokyo sekitar 63,3 persen dari produk domestik brutto/PDB Amerika Serikat. Sementara di Hongkong mencapai 63,3 persen pada tahun 1997. Sekarang, nilai total lahan di Beijing adalah 61,6 persen dari PDB AS. Ini merupakan kondisi yang sangat berbahaya.
"... Secara umum, saya percaya bahwa Tiongkok telah mencapai batas kapasitas untuk membangun proyek hunian baru. Saat ini hanya kota lapis ketiga dan keempat saja yang memiliki potensi untuk ekspansi kapasitas," ujar Mao.