Ratusan orang buruh masih bersemangat meneriakkan 10 tuntutan utama. Ke-10 tuntutan tersebut adalah peningkatan upah minimum 2015 sebesar 30 persen dan revisi KHL menjadi 84 item, menolak penangguhan upah minimum, jaminan pensiun wajib bagi buruh pada Juli 2015, jaminan kesehatan seluruh rakyat dengan cara mencabut Permenkes 69/2013 tentang tarif, serta ganti INA CBG's dengan Fee For Service, audit BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Kemudian menghapus outsourcing, khususnya outsourcing di BUMN dan pengangkatan sebagai pekerja tetap semua pekerja outsourcing; mengesahkan RUU PRT dan Revisi UU Perlindungan TKI No 39/2004, mencabut UU Ormas ganti dengan RUU Perkumpulan, mengangkat pegawai dan guru honorer menjadi PNS, serta subsidi Rp 1 juta per orang per bulan dari APBN untuk guru honorer; menyediakan transportasi publik dan perumahan murah untuk buruh; serta wajib belajar 12 tahun dan beasiswa untuk anak buruh hingga perguruan tinggi.
Yang menarik adalah tuntutan penyediaan rumah murah. Bagi buruh, memiliki dan tinggal di rumah layak huni dengan harga terjangkau masih merupakan mimpi. Jangankan memiliki hunian, menyewanya saja sudah menggerus sepertiga pendapatan mereka. Pasalnya, harga sewa (kontrakan) rumah saat ini sudah mencapai kisaran Rp 600.000 hingga Rp 2 juta per bulan untuk wilayah Jakarta pinggiran, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Menurut Fitriani (29), buruh di sebuah Kawasan Industri Cikarang, harga sewa minimal Rp 600.000 itu dipatok untuk "kontrakan bedeng" dengan fasilitas kamar mandi di luar yang digunakan bersama penyewa lainnya.
"Saya tinggal di Lemah Abang. Ada 20 pintu rumah kontrakan, yang paling luas adalah yang harga sewanya Rp 1,5 juta per bulan. Itu bisa diisi bareng-bareng sampai tiga orang, kamar mandi di dalam. Sementara saya ngontrak di bedeng dengan harga sewa Rp 700.000. Semuanya numpuk jadi satu, tidur, makan, istirahat ya di satu tempat," ujar Fitriani kepada Kompas.com, Kamis (1/5/2014).
Sementara Rojak (35), rekan Fitriani yang bekerja di Kawasan Industri Jababeka, memilih rumah kos sebagai tempat tinggalnya. Berdua bersama rekannya, Rojak berbagi uang sewa sebesar masing-masing Rp 250.000 per bulan.
"Kalau enggak gitu, saya enggak sanggup bayar. Kebetulan ada teman senasib. Jadi kami berdua bayar kamar kos. Sisa gaji buat makan dan keperluan lain. Tarif kos segitu katanya bakal dinaikkan tahun depan. Saya enggak tahu masih bisa tinggal di situ atau enggak karena status saya masih buruh kontrak," ujar Rojak.
Fitriani dan Rojak hanyalah dua dari jutaan buruh lainnya yang masih sulit membeli dan memiliki rumah layak huni dengan harga murah. Betapa tidak sulit, menurut Fitriani, "rumah BTN" di Cikarang untuk tipe 21/60 sekarang harganya sudah Rp 250 juta-Rp 300 juta.
"Kata penjualnya, uang muka bisa dicicil ke mereka (pengembang) enam kali berturut-turut. Tapi, saya mana sanggup bayar Rp 50 juta," ujarnya.
Dengan penghasilan Rp 2 juta per bulan, Fitriani terpaksa harus menabung semua pendapatannya selama 25 bulan untuk membayar uang muka. Makan dan kebutuhan sehari-hari lainnya? Lupakan saja. Karena toh, Fitriani masih bisa tersenyum dengan kondisinya saat ini.
"Saya cuma kepengin ada rumah murah buat kami dengan cicilan sama dengan uang kontrakan bulanan," tambahnya.
FLPP
Pemerintah bukannya menutup mata terhadap kondisi tersebut. Melalui Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), telah disediakan kredit pemilikan rumah (KPR) dengan program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), tetapi hingga akhir tahun lalu targetnya belum tercapai.
Kemenpera menargetkan penyaluran KPR FLPP 2013 mencapai 121.000 unit rumah. Namun, yang tersalurkan sekitar 115.000 unit. Dalam catatan Kompas.com, FLPP yang sudah tersalurkan mencapai 87.761 unit atau senilai Rp 4,546 triliun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.