JAKARTA, KOMPAS.com - Penetapan kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) lahan di DKI Jakarta hanya satu dari banyak faktor yang memengaruhi penyediaan hunian murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Direktur Utama Perum Perumnas, Himawan Arief Sugoto, mengatakan, salah satu solusi mengatasi masalah pasokan rumah murah adalah skema pembangunan "Seribu Tower". Hal ini dia sampaikan seusai konferensi pers terkait hasil Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) di Jakarta, Kamis (20/3/2014).
"Tarif NJOP baru secara otomatis akan meningkatkan harga tanah di pasaran. Makanya, kalau dilepas saja ke dalam mekanisme pasar, akan sulit menyediakan rumah murah. Saya berharap pemerintah membuat skema baru dalam mengatasi kebutuhan rumah di perkotaan. Mungkin dengan cara waktu dan skema "Seribu Tower"," usul Himawan.
Menurutnya, bisa saja Perum Perumnas menggunakan tanah pemerintah untuk menyediakan hunian tersebut. "Contohnya dulu kita bisa bangun tipe 38, di mana harga tanah tersebut hanya senilai Rp 1 juta per meter perseginya, Ini kan tujuannya untuk kebutuhan rakyat. Tanah itu kan sebenarnya bukan untuk pertumbuhan ekonomi saja, tapi untuk menyejahterrakan rakyat," tekannya.
Penyediaan lahan untuk membangun hunian murah di tengah kota akan memberi efek positif yang luar biasa. Menurutnya, masyarakat tidak lagi membutuhkan banyak bahan bakar minyak (BBM) lantaran tinggal begitu dekat dengan pusat kota, pekerjaan, dan kebutuhan sehari-harinya. Subdisi BBM pun tidak lagi menjadi fokus utama.
Harga hunian vertikal tinggi
Meski Himawan menyatakan bahwa kini sudah saatnya penyediaan tanah diperhatikan agar kebutuhan masyarakat beralih, sayangnya praktik mekanisme pasar terhadap tanah dan harga properti sudah berlangsung sejak dulu. "Nah, kalau lihat harganya, sekarang semua rumah susun sudah tidak lagi di bawah Rp 200 juta. Sekarang kepalanya sudah di angka tiga," ujar Himawan.
Memang, ada kasus-kasus tertentu. Seperti misalnya hunian di Kemayoran. Menurut Himawan, hal tersebut berbeda. "Kalau yang Kemayoran, kita khusus. Ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan harga Rp 144 juta. Tapi kami harus memilih (penghuninya) karena Pak Dahlan mau konsep bedol RT-RW," ujarnya.
Sementara itu, rumah susun kembangan Perum Perumnas lainnya ada di Cengkareng. Berbeda dengan yang ada di Kemayoran, harga setiap unit relatif lebih mahal. "Kalau Cengkareng normal, karena tidak ada program subsidi pemerintah sama sekali, berkisar antara Rp 250 juta sampai Rp 350 juta. Ini apartemen sederhana milik (anami). Sekarang, sepertinya rusunami dan anami tidak ada bedanya kalau tidak ada insentif pemerintah," ujar Himawan.
Perlu intervensi pemerintah
"Seharusnya, paling tidak ada intervensi pemerintah terkait kebijakan lahan. Itu sangat diperlukan untuk menekan ongkos konstruksi. Sekarang, demand-nya dikasih apa pun kalau harga supply-nya mahal ya tidak mampu juga. Mau diberi bunga hanya lima persen pun kalau harganya mahal bagaimana?" tanya Himawan.
Himawan juga menyayangkan absennya delivery system hunian publik atau public housing di Indonesia. Seharusnya, jika sistem tersebut tersedia, pemerintah akan mengetahui persis kebutuhan dan biaya dari sisi penyediaan rumah. Jika dibuatkan skema yang baik, pemerintah bisa menekan komponen biaya paling mahal, yaitu tanah dengan cara penyediaan landbank. Bank tanah tersedia, kemudian bisa digunakan untuk perumahan rakyat.
"Sebagai agensi akan senang kalau lahan dikelola oleh kita, harga lahannya bisa kita kendalikan. Sehingga rumah bisa (murah). Sekarang kita tidak bisa menjaga stabilisasi harga," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.