Sayangnya, Bandung masih tersandera lima masalah akut yang membuatnya tak kunjung beranjak lebih baik. Lepas dari siapa pun pemimpinnya, sosok tersebut harus mampu dan cekatan mengatasi lima persoalan ini untuk tujuan menjadi kota dunia yang nyaman ditinggali (livable city).
Demikian pandangan Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP), Bernardus Djonoputro, terkait lima bulan usia kepemimpinan berikut program-program Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, kepada Kompas.com, Rabu (5/3/2014).
Menurutnya, meski tidak adil menilai hanya berdasarkan lima bulan kepemimpinan, ini sangat penting sebagai pijakan untuk membaca masa depan Bandung dalam lima tahun mendatang. Terlebih lagi, saat ini Bandung sebagai katalisator Bandung Raya yang mencakup Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi.
"Ridwan Kamil belum menyentuh lima masalah akut yang notabene sangat fundamental. Dia hanya menambahkan kosmetika agar Bandung terkesan lebih molek dari sebelumnya. Lihat saja, di setiap sudut kota dipasang pot-pot bunga. Padahal, yang namanya pembenahan kota itu harus secara struktural dan kultural. Dan seharusnya, dia membeli lahan untuk dijadikan taman. Dananya ada kok," papar Bernardus.
Lima masalah akut yang belum disentuh akarnya tersebut, jelas dia, adalah pertama penurunan kualitas lingkungan. Masih terjadi eksploitasi alam di kawasan selatan dan utara Bandung. Meski bukan wilayah otoritas kota, jika dibiarkan, dampaknya terhadap Kota Bandung akan sangat signifikan.
"Terhadap hal ini, Wali Kota harus teguh komitmen dan mampu mengarahkan pembangunan sesuai dengan rancangan tata ruang wilayah (RTRW) yang terperinci di dalam rancangan detail tata ruang (RDTR) kota," kata Bernardus.
Masalah kedua adalah buruknya kualitas jaringan jalan dan utilitas. Menurut dia, kapasitas jalan sudah jenuh akibat buruknya manajemen lalu lintas dan jaringan jalan. Solusi bukan membebaskan ongkos transportasi kepada pelajar atau membangun sky train, dan lain-lain bersifat populis serta rendah manfaat.
Masalah ketiga, pertumbuhan kota sangat kacau dan karut-marut (sprawl). Properti komersial dibiarkan tumbuh dan mendominasi pemanfaatan ruang kota. Struktur ruang kota menjadi tidak teratur.
Masalah berikutnya adalah penyediaan transportasi massal untuk masyarakat yang belum optimal. Jalur utama dan lingkungan tidak dimanfaatkan untuk menciptakan arus lalu lintas yang efektif dan efisien sehingga butuh intervensi dengan membuat sistem transportasi terstruktur; jalur jelas, kepastian kedatangan dan keberangkatan, jumlah moda, serta beban bangkitan.
"Masalah kelima terkait perekonomian. Hal ini memang terkait migrasi urban. Namun, untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, tidak bisa hanya bermain dalam domain satu segmen, yakni anak muda dengan harapan menjadi pelopor industri kreatif, namun juga menyentuh seluruh kalangan," tandas Bernardus.
Bandung, lanjutnya, punya citra kuat dan identik sebagai kota pendidikan, kondusif untuk melahirkan sebanyak mungkin entrepreneur muda. Oleh karena itu, pemerintah kota harus bisa menstimulasi tumbuhnya bakat-bakat industri kreatif dengan mendorong institusi pendidikan menyediakan fasilitas yang dapat menghasilkan riset kelas dunia.
"Hasil riset tersebut nantinya dapat dimanfaatkan sebagai 'amunisi' bagi terciptanya industri-industri baru di luar industri kreatif. Jika kelima masalah akut ini dapat diatasi, Bandung tidak lagi menempati posisi 10 dalam indeks kota ternyaman di Indonesia dengan poin di bawah rerata, yakni 52, melainkan tampil sebagai kota berstandar internasional," ucapnya.