Tingginya disparitas kebutuhan dan pasokan tersebut, memaksa Pemerintah Mesir menerapkan langkah-langkah populis pro rakyat miskin. Termasuk membuka akses pinjaman perbankan untuk rakyatnya yang berpenghasilan rendah, dan sekaligus mendorong pengembang swasta membangun hunian murah.
Kebijakan populis tersebut merupakan lanjutan dari usulan revisi Undang-Undang Pembiayaan Utang Tahun 2001 yang diajukan Otoritas Keuangan Mesir (EFSA) kepada Menteri Investasi, Osama Saleh, pada Desember 2013.
EFSA mengusulkan kenaikan batas rasio kredit terhadap pendapatan individu berpenghasilan rendah. Usulan baru ini memungkinkan lebih banyak orang miskin mendapatkan keuntungan pinjaman kepemilikan rumah yang disubsidi negara.
Mesir sendiri merupakan pasar properti yang belum berkembang. Meski begitu, menurut laporan Bank Dunia, negara ini telah mencetak beberapa pencapaian, antara lain nilai KPR terus melonjak senilai 42,8 juta dollar AS (Rp 495,3 miliar) pada 2006, menjadi 642,3 juta dollar (Rp 7,4 triliun).
Pertumbuhan tersebut diikuti jumlah perusahaan pembiayaan penyalur KPR dari sebelumnya hanya dua menjadi 12 selama periode yang sama.
Namun, bila dibandingkan dengan negara tetangga lainnya seperti Turki yang memiliki rasio kredit sekitar 7 persen terhadap total product domestic bruto (PDB), Mesir masih jauh di belakang. Negara ini baru mencatat kurang dari 1 persen rasio kredit terhadap PDB.
Bangun rumah murah
Selain merevisi aturan KPR, pemerintah Mesir juga tengah berupaya meningkatkan pasokan rumah murah. Pada Januari lalu, Menteri Perumahan, Utilitas dan Pembangunan Perkotaan, Ibrahim Mahlab, mengatakan akan menyediakan sekitar 50.000 unit pada pertengahan tahun dan selanjutnya 90.000 selama 14 bulan berikutnya.
Sebagian rumah tersebut akan disubsidi pemerintah, sebagian lagi berasal dari kontribusi pengembang swasta. "Kami akan mendorong swasta untuk menginvestasikan dana bagi pembangunan rumah murah. Untuk itu, kami akan memprioritaskan akses terhadap pembiayaan properti melalui kerjasama dengan bank sentral," urai Ibrahim.
Ibrahim melanjutkan, melibatkan partisipasi sektor swasta dapat membantu meringankan kekurangan rumah untuk orang miskin. Sebelumnya, pemerintah telah memiliki program perumahan sosial selama puluhan tahun. Namun, seiring pertumbuhan populasi, program tersebut tak mampu mengakomodasi kebutuhan rumah. Terlebih, pengembang swasta lebih memilih membangun hunian yang dipadukan dengan berbagai jenis komersial dalam satu pengembangan berkonsep mixed use.Walhasil, kekurangan rumah murah dengan harga terjangkau telah menciptakan gelombang konstruksi ilegal. Menurut laporan Kementerian Perumahan Rakyat, Utilitas dan Masyarakat Perkotaan, terdapat sekitar 500.000 unit rumah dibangun tanpa persetujuan pemerintah selama tiga tahun terakhir.