Namun, upaya-upaya itu tak dapat mencegah risiko gelembung (bubble) properti. Akibatnya, nyaris separuh dari total 120 kota di China menghadapi risiko bubble properti. Kota-kota tersebut umumnya kota lapis kedua, ketiga, dan keempat.
Demikian hasil riset China World Union dan Tongji University School of Property Shanghai tentang nilai investasi properti di 120 kota China. Survei tersebut memperlihatkan, risiko bubble properti dapat terjadi di 55 kota dengan tingkat kerapuhan tinggi. Adapun kota-kota lapis ketiga dan keempat itu antara lain Ordos dan Baotou di Mongolia dalam, Sanya di Hainan, Yulin di Shaanxi, Beihai di Guangxi, Huangshi dan Xiangyang di Hubei, dan Jiaxing di Zhejiang.
Sementara itu, kota lapis kedua di antaranya Wenzhou, Xiangtan, Yueyang di Hunan dan Lianyang di Jiangsu. Namun, meskipun mengalami pertumbuhan properti sangat pesat, kota-kota itu tetap dianggap rapuh karena jumlah pasokan terus bertambah dari tahun ke tahun (over development). Para pengembang terus membangun tanpa memperhitungkan permintaan.
Pengembangan sporadis tersebut mengurangi potensi akselerasi pertumbuhan pada tahun-tahun mendatang. Jika tidak diantisipasi dengan hati-hati, kota-kota lapis kedua itu sangat rentan terhadap risiko gelembung properti.
Kondisi lebih parah dialami kota lapis ketiga dan keempat. Pasar properti di kota-kota ini menghadapi ketidakseimbangan pasokan dan permintaan, serta struktur ekonomi yang tidak merata. Hal ini menyebabkan kesenjangan semakin melebar antara si kaya dan si miskin.
Hasil survei tersebut juga semakin menegaskan bahwa kesenjangan pasar properti di China semakin melebar antara kota utama, lapis kedua, ketiga, dan keempat.