Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), A Stefanus Ridwan, mengungkapkan, dari jumlah tersebut mayoritas berada di Jakarta, disusul kawasan Bodetabek, Surabaya, Bandung, dan kemudian kota-kota utama lainnya di luar Pulau Jawa seperti Medan, dan Makassar.
"Sisanya terdistribusi merata di seluruh Indonesia. Bahkan, di Nusa Tenggara Timur pun sudah berdiri mal dengan peritel skala nasional besar yakni Floba Mora Mall," ujar Stefanus kepada Kompas.com, Kamis (23/1/2014).
Kendati setiap tahun bertambah, namun Stefanus beranggapan bahwa bila dibandingkan dengan rasio populasi dan pendapatan per kapita, maka jumlah pusat belanja masih kurang.
Singapura contohnya, meski negara kecil berpenduduk 5,3 juta jiwa, mereka punya mal sebanyak 200 buah. Sementara Indonesia dengan populasi 237.641.326 jiwa (sensus penduduk BPS 2010), cuma memiliki 300 mal.
Dari jumlah tersebut, hanya lima persen saja yang dapat dikategorikan sebagai mal kelas atas atau sebanyak 15 pusat belanja. Sebagian besar lainnya, mal menengah dan bawah.
Sementara setiap tahun terjadi pergeseran kelas dan strata sosial. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta, jika pada tahun-tahun sebelumnya masyarakat A misalnya berada pada strata bawah, seharusnya saat ini naik kelas menjadi strata menengah.
"Pendapatan per kapita terus naik. Dengan demikian mereka punya kebutuhan lebih banyak lagi demi mendukung kualitas hidup yang lebih baik. Untuk itu, berapa pun jumlah mal terbangun, akan sangat bergantung kepada situasi pasar (supply and demand). Pada saat sekarang, menurut kami para peritel, jumlah mal memang masih sangat kurang. Kami punya kebutuhan melakukan ekspansi bisnis," ujar Tutum kepada Kompas.com, Jumat (24/1/2014).
Lebih jauh Tutum mengatakan, Pemerintah Daerah seharusnya punya analisa mengenai rasio populasi dan pendapatan per kapita. Dari analisa tersebut akan dihasilkan berapa sesungguhnya kebutuhan mal yang dapat mengakomodasi masyarakatnya.
"Sayangnya, Pemerintah Daerah di Indonesia belum tahu bagaimana harus merancang kotanya apakah menjadi destinasi bisnis, destinasi wisata, destinasi investasi atau kuliner. Kecenderungannya saat ini sama saja. Padahal, kondisi pusat belanja di daerah berbeda-beda, ada yang butuh perbaikan kelas dan kualitas terkait peningkatan daya beli, sebaliknya ada juga yang butuh penambahan kuantitas," jelas Tutum.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.