Tantangan domestik menyangkut kenaikan suku bunga, kebijakan Bank Indonesia mengenai Loan to Value (LTV) yang baru dan turunnya target kredit perbankan. Hal tersebut dapat menekan pertumbuhan sektor properti.
Hasil riset Bank Mandiri menyebutkan, kenaikan BI Rate yang mencapai 175 basis poin dari 5,75% pada awal 2013 menjadi 7,5% pada November 2013, patut diwaspadai karena diperkirakan akan menurunkan permintaan properti. Terlebih pemberlakuan aturan LTV baru.
Sebelum pemberlakuan LTV baru, pertumbuhan KPR dan KPA sangat pesat bahkan mencapai 45% secara tahunan. Hal ini ditengarai karena penyaluran kredit secara gencar sebelum penerapan LTV. Sebagai akibatnya, kualitas kredit KPR mulai terpengaruh dan memburuk dari 2,02% pada Juni 2012 menjadi 2,47% pada Juni 2013. Sebaliknya untuk KPA, pertumbuhan masih tetap kencang hingga 2013.
Oleh karena itu, BI memperketat aturan baru terkait sektor properti pada akhir September 2013 yaitu pengenaan LTV yang lebih rendah pada pembelian rumah tapak, rumah susun dan apartemen tipe 70. Untuk pembelian kedua dikenakan LTV sebesar 60% dan untuk pembelian ketiga dan seterusnya dikenakan LTV 50%. Alasannya karena tipe tersebut lebih berpotensi menjadi sarana investasi dan spekulasi.
Selain itu, juga ada ketentuan mengenai KPA dengan tipe 22-70 dengan LTV maksimal 80%, sementara untuk pembelian kedua, LTV maksimal sebesar 70%. Untuk pembelian ketiga dan seterusnya, LTV maksimal adalah sebesar 60%. Selain itu, BI juga mengatur mengenai larangan pembelian rumah yang belum ada fisiknya (inden) untuk KPR kedua dan seterusnya.
Penerapan aturan LTV baru ini semakin menekan pertumbuhan KPR-KPA. Pada penetapan aturan LTV 2012 pertumbuhan menurun 44% pada Juni 2012 menjadi 18% pada Juni 2013. Pada tahun 2012, porsi yang terkena dampak LTV mencapai 50%. Dengan porsi yang lebih besar tersebut, penurunan pertumbuhan KPR-KPA akan semakin tajam.
Implikasi dari kebijakan pengetatan ini bakal menurunkan target pertumbuhan kredit 2014 menjadi 15%-17% jauh lebih rendah dibandingkan posisi saat ini di level 23%. Perbankan tentunya akan lebih selektif dalam menyalurkan kredit propertinya.
Bagaimana respon pengembang? Pengembang merespon kebijakan BI ini dengan menetapkan target penjualan pemasaran 2014 lebih moderat 2014 ketimbang 2012 atau 2013. PT Summarecon Agung Tbk., contohnya. Pengembang sejumlah perumahan skala kota ini akan mematok target penjualan 2014 sama dengan 2013 yakni Rp 4 triliun.
"Sekitar Rp 3,3 triliun hingga Rp 4 triliun. Dampak aturan LTV sangat terasa, dan kami konservatif ya," ujar Direktur Utama Summarecon Agung, Johannes Mardjuki, saat memberi keterangan pers setelah penerbitan Sukuk Ijarah, Rabu (6/11/2013).
Tak hanya Summarecon, PT Pakuwon Jati juga menetapkan target penjualan tak muluk-muluk. Pengembang beberapa superblok di Jakarta dan Surabaya ini membidik angka Rp 3 triliun.
Selain itu, pengembang dengan cadangan lahan terbatas berencana menggenjot recurring revenue (pendapatan berkelanjutan). Recurring revenue ini sangat penting bagi pengembang terutama ketika penjualan menurun.
Summarecon, menurut Johannes, akan memperkuat basis pendapatan berkelanjutan dengan menggenjot pembangunan Harris Hotel di Bekasi, Pop Hotel di Kelapa Gading yang diharapkan beroperasi pada 2014, serta Movenpick Hotel di Bali yang direncanakan rampung pada 2015. Dengan beroperasinya ketiga hotel tersebut, porsi recurring income Summarecon yang saat ini 24% akan terkerek menjadi 30%.
Demikian halnya dengan Pakuwon. Mereka juga akan menumbuhkan pendapatan berulang melalui pengembangan Tunjungan Plaza tahap 5 dan 6 di Surabaya, ditambah Kota Kasablanka tahap 3 di Jakarta Selatan. Saat ini, Tunjungan Plaza tahap 5 sudah mencapai lantai 4. Sementara konstruksi tahap 6 akan dimulai pada kuartal I 2014.
Porsi pendapatan berulang Pakuwon saat ini sebesar 45%. Pendapatan ini terus tumbuh karena ditopang tingginya tingkat okupansi pusat-pusat perbelanjaan yang mereka bangun. Kota Kasablanka yang baru beroperasi 1 tahun mencatat tingkat okupansi 94%. Sementara Gandaria City dan Tunjungan Plaza masing-masing 98% dan 99%.
Sedangkan Gapura Prima Group fokus membangun perkantoran, kondotel dan serviced apartment. Menurut CEO Gapura Prima Group, Rudy Margono, ketiganya merupakan opsi terbaik untuk dikembangkan karena memberikan potensi keuntungan lebih tinggi dibanding portofolio lain.
Hingga saat ini, menurut Rudy, pihaknya sudah membuat beberapa kondotel dan serviced apartment di Jakarta. Kondotel-kondotel tersebut berada di Kuningan, Permata Hijau, Pondok Indah, dan Kebon Jeruk.
Dengan pembangunan kondotel-kondotel ini, pihaknya menargetkan tambahan pendapatan berulang (recurring income) sebesar 70 persen. Jumlah tersebut ia harapkan dapat tercapai dalam dua tahun mendatang.
"Saat ini, recurring income Gapura Prima Group masih sejumlah 30 persen dari jumlah pendapatan. Kami memiliki potensi bertumbuh, karena price earnings ratio (rasio harga saham terhadap laba per lembar saham) kini berjumlah 9. Padahal, rata-rata industri sudah mencapai 20," tnadas Rudy.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.