"UU No 1/2011 itu sudah sangat lengkap. Tapi, pemerintah daerah yang mestinya membantu penyediaan rumah malah melakukan praktik-praktik yang justru menghambat pencapaian target pembangunan rumah. Pemda harusnya membantu perizinan, mengurangi perpajakan, memudahkan penyediaan lahan, dan lain-lain," papar Ketua DPD REI Batam, Djaja Roeslim pada seminar dan diskusi Pandangan ke Depan Pembangunan Rumah di Tahun Politik 2014, Kamis (16/1/2014).
"Bagaimana bisa menyediakan perumahan rakyat jika sekarang situasinya tidak kondusif. Pemda malah mempersulit, sementara di sisi lain masalah makro juga ikut berpengaruh terhadap produktifitas. Rupiah masih terdepresiasi, suku bunga tinggi dan juga LTV serta UMR," tambahnya.
Djaja melanjutkan, harus ada sanksi kepada Pemda yang tidak mendukung dan menjalankan kewajiban tersebut. Untuk itu, Pemda harus membantu.
"Di sisi lain, pemerintah pusat tidak usah terlalu intervensi mengatur ini itu, cukup bikin roadmap, maka semua dijalankan oleh pasar. Hukum pasar supply dan demand akan menyesuaikan sendiri di lapangan. Pemerintah hanya harus memperhatikan apa yang dibutuhkan," tandas Djaja.
Hal berbeda dikemukakan Pengamat Kebijakan Publik dari Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan Institut Teknologi Bandung, Jehansyah Siregar. Menurutnya, skema public housing sudah mencakup semua hal yang dibutuhkan para pemangku kebojakan, pemerintah, serta pelaku pasar.
"Perlunya kemudahan perizinan, perolehan tanah, dan terjaminnya tata ruang, adalah agar masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tidak tersisih. Di dalam public housing itu semua harus dilakukan," ujar Jehansyah.
Dengan kata lain, terbangunanya sistem penyediaan di tingkat hulu secara terpadu harus lebih didahulukan. Pelaksanaan pembangunan rumah rakyat tidak bisa dibiarkan tanpa ada pengelola dan pengawas semacam Public Body yang memiliki otoritas.
"Memproduksi kebijakan dan melaksanakan pembangunan perumahan memang tidak semudah membalik tangan tapi kita harus menunjukkan peta jalan. Keterpaduan infrastruktur, adalah contoh sistem penyediaan di tingkat hulu yang mempengaruhi produktifitas rumah menjadi sangat signifikan," tukas Jehansyah.
Lebih dari itu, karena perumahan rakyat sudah kadung dianggap sebagai bagian dari organisasi proyek (bisnis), maka menurut pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, bisnis perumahan harus memiliki etika, filosofi dan kriteria tertentu.
"Selama ini yang terjadi, baik pemerintah, DPR, perbankan, maupun pengembang justru mereduksi tujuan pembangunan perumahan, yakni kesejahteraan rakyat," ucap Andrinof.
Andrinof mengatakan, persoalan mendasar yang menyebabkan tujuan menyejahterakan masyarakat melalui pembangunan perumahan sampai saat ini tak juga tercapai.
"Di mana pun pengusaha berinvestasi, pasti tersedia lapangan kerja. Namun, apakah keuntungan bisnis yang dicapai perusahaan dalam hal ini pengembang linear dengan kesejahteraan?," singgung Andrinof.
Pembangunan perumahan rakyat yang dikerdilkan menjadi target-target angka pencapaian, tenor pinjaman KPR, kenaikan suku bunga, jumlah cicilan, defisit pencapaian, adalah potret buram kondisi perumahan di Indonesia.
"Ukuran-ukuran yang digunakan menjadi sempit, rumah menjadi tidak terjangkau dan MBR makin teralienasi di negaranya sendiri," imbuhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.