Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Berdaya, Negara Absen Penuhi Rumah Rakyat!

Kompas.com - 16/01/2014, 14:21 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Banjir dan macet yang melanda Jakarta, serta kawasan penyangga lainnya yang tak kunjung teratasi, merupakan dosa pembuat kebijakan perumahan Nasional. Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago menandaskan hal tersebut pada seminar Pandangan ke Depan Perumahan Rakyat di Tahun Politik 2014, Kamis (16/1/2014).

Menurut Andrinof, negara atau pemerintah absen dalam pemenuhan kesejahteraan melalui pembangunan rumah rakyat. Negara dan pemerintah harus melakukan intervensi.

"Selama ini, yang terjadi adalah negara menjadi instrumen kapital dalam arti pendukung pemilik kapital. Sebaliknya, negara menjadi tidak berdaya karena membiarkan pembangunan perumahan rakyat menjadi industri yang mekanismenya diserahkan kepada pasar," tegas Andrinof.

Lebih jauh Andrinof memaparkan, masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dijauhkan dari tempat mereka beraktifitas. Rumah-rumah yang bisa diakses oleh kalangan ini berada jauh di pinggiran. Padahal, mereka justru merupakan pangsa pasar terbesar.

Tak mengherankan, jika pada akhirnya, tercipta kondisi high cost ekonomy di perkotaan karena kebijakan perumahan yang salah. Tokyo, Singapura dan Seoul tidak macet karena warga tinggal di hunian vertikal.

"Di sini negara mengambil peran yang tepat sebagai regulator, fasilitator dan juga suplier," ujarnya.

Kebijakan tersebut terjadi sejak 1988. Walhasil, bukan hanya backlog secara struktural, kebijakan tersebut juga berkontribusi terhadap ketimpangan sosial dan terjadinya segregasi sosial.

"Inilah masalah mendasar kenapa kemudian akhirnya negara gagal menyejahterakan rakyat. Rumah pasti akan tumbuh karena bertambah permintaan akibat desakan populasi. Sayangnya tanah tidak berproduksi," ujarnya.

Masalah penguasaan tanah oleh negara posisinya harus jelas. Di sinilah terdapat  keanehan kebijakan perumahan. Tidak seperti negara-negara lainnya di Asia, di mana lahan dikuasai oleh negara.

Di mancanegara, peran negara jelas dalam melihat persoalan perumahan. Negara menjadi  pemasok, sehingga pembangunan  rumah sangat memperhatian dampak dan fungsi bagi publik. Sementara, pemerintah justru memandang masalah perumahan rakyat harus difokuskan pada dua hal, yakni kebijakan dan stimulan.

Asisten Deputi Perumahan Formal Bidang Perencanaan Kementerian Perumahan Rakyat, R Dimyati, menegaskan, masalah perumahan terutama disparitas kebutuhan dan pemenuhan, tidak bisa diselesaikan secara singkat.

"Pada tahapan tertentu bisa saja fokus pada kebijakan, di saat lainnya justru harus ke arah stimulan," ujar Dimyati.

Dia mengatakan, jika fokus kepada salah satu, bukan berarti mengabaikan yang lain.

"Kanalisasi pemikiran memang perlu dilakukan guna menghasilkan sebuah terobosan. Kami sudah melakukan itu dan  mulai fokus. Contohnya sektor perumahan swadaya, kami  mendorong memberdayakan masyarakat. Di sisi lain, kami melakukan stimulan agar masyarakat lebih berdayan," sanggah Dimyati.

Dengan upaya lain yang sudah dijalani, Pemerintah berharap backlog akan semakin berkurang. Saat ini, penyediaan rumah formal hanya 30 persen sementara swadaya 40 persen.

"Jadi, tataran pemikiran harus diimplementasikan dalam program yang rigid dan sesuai dengan norma-norma kebijakan penganggaran, upaya kebijakan yang mendorong pemberdayaan masyarakat, dan industrialisasi juga harus didorong dengan bantuan berbagai skema, mulai dari industri bahan baku, mendorong kebijakan semen dan besi murah, dan lain sebagainya, akan terus diimplementasikan ke depan," tandas Dimyati.

Sebelumnya, dalam seminar yang sama, Kepala Pusat Kajian Kebijakan Perumahan Rakyat Universitas Gajah Mada, Budi Prayitno, mengatakan bahwa sektor perumahan rakyat tahun 2014 benar-benar dalam kondisi darurat. Menurut Budi, berdasarkan hasil kajian, kondisi darurat perumahan rakyat disebabkan tiga hal krusial.

Pertama, angka defisit semakin membengkak, yakni 15 juta unit, dan kawasan permukiman kumuh kian meluas. Kondisi tersebut diperparah dengan tata kelola yang masih carut marut di antara 19 kementerian atau lembaga yang terlibat.

"Kebutuhan hunian sekitar 700.000-800.000 per tahun, hanya mampu dipenuhi tidak lebih dari 300.000 per tahun. Untuk mengejar laju kekurangan saja sangat sulit, apalagi menurunkan angka backlog?," papar Budi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau