Menurut Budi, berdasarkan hasil kajian, kondisi darurat perumahan rakyat disebabkan tiga hal krusial. Pertama, angka defisit semakin membengkak, yakni 15 juta unit, dan kawasan permukiman kumuh kian meluas. Kondisi tersebut diperparah dengan tata kelola yang masih carut marut di antara 19 kementerian atau lembaga yang terlibat.
"Kebutuhan hunian sekitar 700.000-800.000 per tahun, hanya mampu dipenuhi tidak lebih dari 300.000 per tahun. Untuk mengejar laju kekurangan saja sangat sulit, apalagi menurunkan angka backlog?," papar Budi.
"Ini mengindikasikan kurangnya kepekaan pemerintah dalam keberpihakan dan memprioritaskan kebijakan untuk pemenuhan perumahan rakyat," imbuh Budi.
Adapun hal ketiga adalah jangka waktu pemenuhan UU No 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman serta UU no 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun dalam menjamin hak dasar atas papan serta target Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, yang sangat singkat.
"Celakanya, sampai saat ini tidak masuk dalam agenda prioritas kebijakan nasional serta belum ada roadmap yang jelas dan bersifat operasional," tandas Budi. Padahal, masalah perumahan sebagai bagian dari sistem politik ekonomi perkotaan dan sistem pengembangan kota merupakan pijakan dasar dalam merumuskan visi memenuhi hak dasar kesejahteraan rakyat.
Dus, tahun 2014 merupakan tahun politik yang sangat strategis untuk membawa visi terpenuhinya hak dasar papan dalam bentuk agenda prioritas kerja nasional dalam menghadapi kondisi darurat perumahan rakyat.
Sementara pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, pembangunan perumahan rakyat telah gagal. Kegagalan yang terjadi sekarang tidak lepas dari kondisi masa lalu.
"Kebijakan publik mengenai perumahan rakyat berpihak kepada pemegang kapital. Pemerintah seharusnya lebih dari sekadar fasilitator, melainkan juga regulator dan suplier," ujar Andrinof.
"Kebijakan publik perumahan dari segi fiskal sangat lemah. Mestinya, subsidi perumahan menjadi pertimbangan utama dari kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal tidak bisa membiarkan pola subsidi dan pengelolaan aset dibiarkan menjadi persoalan teknis sektoral semata," ujar Jehansyah.
Ada kecenderungan, jika menyangkut pengelolaan aset secara teknis sektoral, pihak keuangan merasa sudah menjadi tanggung jawab dan keahlian yang dimiliki sektor.
"Kondisi yang terfragmentasi ini tidak dapat dibiarkan karena tidak jelas siapa yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan aset yang berpotensi semakin menurun nilainya," imbuhnya.
Jehansyah melanjutkan, sebagai bagian dari pembangunan perkotaan dan wilayah, subsidi perumahan harus menjadi kebijakan fiskal nasional. Artinya, sebagai tanggung jawab penggunaan anggaran dan keuangan negara perlu selalu dilakukan evaluasi akan efisiensi pelaksanannya dan ditekannya berbagai bentuk inefisiensi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.