Demikian diungkapkan Pengamat Perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna kepada Kompas.com, Jumat (27/9/2013).
Menurutnya, obral perizinan berakibat pada kacaunya Tata Ruang Kota. Pusat belanja, hotel, apartemen bisa berdiri di lokasi-lokasi yang peruntukannya sebagai perumahan dan permukiman. Bahkan ada pusat belanja dan hotel yang berada di mulut jalan tol. Jelas saja, menyebabkan terjadinya penumpukan arus kendaraan di gerbang masuk Kota Bogor.
"Alih-alih meraup banyak pengunjung, justru menjadi bumerang karena untuk masuk saja sudah sulit, apalagi ketika sudah berada di dalam kota? Kacaunya pelaksanaan Tata Ruang berpotensi menjadikan Bogor mengalami stagnasi. Tata Ruang berubah menjadi Tata Uang," jelas Yayat.
Saat ini, Bogor memiliki setidaknya 20 ruang ritel komersial dalam bentuk pusat belanja (shopping mall), hipermarket, dan pusat perdagangan (trade center). Terbaru adalah Bogor Trade World dan Bogor Junction. Semua teraglomerasi di pusat kota.
Sedangkan untuk perhotelan dan apartemen terdapat 12 proyek baru yang sudah beroperasi tahun ini dan masih dalam tahap pembangunan. Beberapa hotel baru tersebut antara lain The 101 dan Amaroossa Royal Hotel. Nama terakhir menuai kontroversi karena ketinggiannya melebihi Tugu Kujang sebagai simbol kebanggaan warga Bogor.
Lepas dari itu, menurut Yayat, mudahnya perizinan diterbitkan, akan membawa Bogor bermasalah di kemudian hari. Berdasarkan data Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Bogor, awal tahun 2013, sudah ada empat izin hotel baru diterbitkan. Jumlah itu belum termasuk dua pengajuan izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT) untuk hotel yang sedang dibahas di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bogor.
Pada periode serupa tahun 2012, ada dua izin hotel baru yang dikabulkan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. Adapun selama 2012, ada delapan izin mendirikan bangunan (IMB) hotel yang diterbitkan Pemkot Bogor.