Pendek kata, Bali dengan nilai tradisi dan kultur yang masih terpelihara, "diperkosa" para pemilik modal. Tak ada sejengkal lahan pun yang bebas dijamah. Bahkan, kawasan-kawasan hijau perdesaan tak lepas dari incaran pemilik modal. Mereka seolah mengabaikan keseimbangan antara kebutuhan riil dan kebutuhan yang masih berupa potensi dengan jumlah pasok eksisting.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik Nasional, hingga 2016 mendatang, Pulau Para Dewa ini akan dipenuhi 67 hotel baru dengan kamar sebanyak 12.226 unit. Hotel segmen C atau bintang 3 menguasai pipeline sebanyak 40 persen.
Sampai akhir 2011 saja, Bali telah dipenuhi 22.000 kamar hotel. Jumlah ini membengkak ketika setahun kemudian terdapat tambahan sekitar 3.400 kamar. Berturut-turut Bali akan disesaki sekitar 4.700 kamar pada 2013 dan 4.100 kamar pada 2014-2016. Sehingga menggenapi jumlah 34.226 kamar.
Menurut Horwarth HTL Asia, hampir setengah dari pasokan hotel baru tersebut berada di kawasan Bali Barat. Meskipun moratorium pembangunan hotel tengah berlaku di Kabupaten Badung, Denpasar dan Kabupaten Gianyar sejak Januari 2010, proyek pembangunan hotel jalan terus. Hal ini dimungkinkan karena izin pembangunan dikeluarkan sebelum kebijakan moratorium diberlakukan.
Menggelembungnya jumlah kamar hotel ini, jelas membuat pelaku bisnis perhotelan prihatin sekaligus khawatir. Mereka bahkan meminta pemerintah provinsi Bali membatasi pasokan hotel baru, sebab tingkat hunian terus menunjukkan tendensi penurunan akibat kelebihan pasok. Sekadar catatan, tingkat hunian hotel kelas B dan C sudah menurun sejak tiga tahun terakhir. Sementara jumlah pasokan jauh melebihi permintaan.
Walhasil, di Bali saat ini terjadi persaingan tidak sehat. Para pengelola hotel berlomba menurunkan tarif hingga ke titik yang tidak dapat ditoleransi.
Menurut Sekretaris DPD REI Bali, I Made Sudhana Yasa, para pengelola hotel melakukan perang harga seenaknya. Sudah menjadi rahasia umum bila banyak hotel bintang lima mematok tarif di bawah Rp 1 juta per malam. Sementara hotel dengan kelas di bawahnya hanya berkisar Rp 600.000 per malam.
"Tak cukup hanya dengan moratorium. Bali harus berani membuat kebijakan strategis yang berdampak jangka panjang. Stop pembangunan hotel, evaluasi kembali perizinan yang sudah keluar. Bina hotel yang sudah ada untuk dapat mempertahankan diri di tengah ketatnya persaingan," tandas Sudhana kepada Kompas.com, Jumat (27/9/2013).