Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Depok Tersandera Status Kota

Kompas.com - 21/09/2013, 11:43 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

DEPOK, KOMPAS.com — Masalah mendasar yang dialami Kota Depok sejatinya sudah berlangsung saat terjadi transformasi status kota dari sekelas kecamatan, administratif, hingga kotamadya. Depok dirancang hanya sebagai kawasan penyangga dan "antara" yang menghubungan Jakarta dan Bogor, Jawa Barat.

Oleh karena itu, segala hal yang terkait dengan ekologi kota, tak dapat diakomodasi oleh Depok yang klasifikasi dan kapasitasnya hanya sebatas kota kecamatan. Wajar bila kemudian Depok gagap dalam menghadapi pesatnya perkembangan zaman yang dipicu oleh migrasi urban, kebutuhan hunian, kemacetan, sampah, limbah, dan lain sebagainya.

Demikian disampaikan Pengamat Lingkungan yang juga Staf Pengajar Tata Ruang Departemen Geografi, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia, Tarsoen Wiryono kepada Kompas.com, Jumat (20/9/3013).

Menurutnya, sebelum berubah status menjadi Kota Administratif pada 1982, Depok hanyalah Kota Kecamatan dalam wilayah Kabupaten Bogor. Jumlah penduduk masih di bawah 100.000 jiwa dengan densitas rendah.

"Seiring dengan dinamika zaman, Depok pun mengalami perubahan. Populasi bertambah, kebutuhan hunian dan fasilitas penunjang pun membengkak. Dilihat dari sisi densitas populasi, Depok memenuhi kriteria untuk naik tingkat menjadi Kota Administratif. Dan keputusan tersebut ditetapkan pada tahun 1999," papar Tarsoen.

Dalam tahap penetapan status Kota Administratif, Depok mendapat suplai wilayah dari Bogor dan Jakarta. Maka kemudian masuklah wilayah-wilayah Cinere, Sawangan, Tapos, Bojongsari, dan lain-lain. Hanya, dengan penduduk 1,2 juta pada saat itu, Depok mulai terengah-engah. Apalagi sekarang dengan 1.898.576 jiwa dan densitas pada angka 9.479 jiwa per kilometer persegi menyesaki kota ini. Apa yang bisa diperbuat Depok?

Sementara Pendapatan Asli Daerah (PAD) pun terbatas, tahun 2012 hanya sebesar Rp 379,7 miliar. Padahal, banyak industri (pabrik-pabrik) yang beroperasi di wilayah Depok. Namun, industri-industri tersebut justru sejak lama diplot masuk ke pusat (Jakarta). Walhasil, imbuh Tarsoen, kota ini sebetulnya kaya, tetapi uangnya lari ke pusat.

Galib jika pada akhirnya, pembangunan infrastruktur strategis seperti akses tol Cinere-Jagorawi (Cijago), Depok-Antasari (Desari), Cimanggis-Nagrak (Cina), serta Cimanggis-Cibitung (Cici) masih mengandalkan dana APBN.

"Depok hanya kebagian 'membereskan' masalah-masalah yang ditimbulkan oleh aktivitas ekonomi pusat. Seperti masalah pencemaran, polusi, limbah, ketenagakerjaan, dan lain sebagainya. Semua ini merupakan tanggung jawab Depok," tandas Tarsoen.

Padahal, dengan keterbatasan ini, Pemerintah Kota Depok mestinya melihatnya sebuah peluang. Semua hal yang dapat memberikan dampak pada Depok, mereka harus ikut andil. Selain itu, mereka juga harus segera membuat penetapan zonasi atau kavling-kavling khusus melalui Tata Ruang yang komprehensif dan akomodatif dengan seimbang baik untuk kepentingan bisnis maupun masyarakat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau