Hanya, dalam perjalanannya kemudian, terjadi diskoneksi atau keterputusan antara Depok realitas dan Depok ideal. Masih banyak yang perlu diperbaiki. Seperti kota satelit lainnya, Depok masih tergantung pada orbitnya, Jakarta. Banyak orang yang bekerja di ibukota, tapi tinggal di Depok. Mereka kerap disebut penglaju (commuter).
Pengamat perkotaan, Marco Kusumawijaya, mengatakan, peningkatan perjalanan yang bersifat lajon (penglaju) atau mempercepat diri secara ulang-alik demi pekerjaan dan aktifitas lainnya dalam satu hari merupakan fakta penyebab kemacetan.
"Depok harus mengurangi jumlah penglaju, dengan cara memanfaatkan potensi atau sumber daya keahlian, keilmuan dan kreatifitas yang ada di dalamnya. Di kota ini terdapat Universitas Indonesia, perguruan tinggi terbesar, yang seharusnya menghasilkan pekerjaan-pekerjaan kreatif di masa mendatang. Nilai dari Ilmu-Teknologi-Ekonomi (ITE) harus diimplementasikan. Hasil riset harus dapat dikapitalisasi menjadi produk yang bernilai ekonomis," papar Marco kepada Kompas.com, Jumat (13/9/2013).
Riset yang diproduksi bukan hanya materi yang diimplementasikan melainkan input berupa pemikiran, ide, dan gagasan, juga bukan yang bersifat infrastruktur dan kapital meskipun keduanya penting. Jadi, keberadaan Universitas Indonesia dan perguruan tinggi lainnya harus diberdayakan secara maksimal.
"Ada banyak periset unggulan di dalamnya. Mereka jangan hanya berkutat di dalam kubikel akademik, juga harus turut membantu menciptakan Depok sebagai kota kreatif. Sama seperti Bandung, Depok harus membangun basis ekonomi sendiri sebagai sentra industri kreatif," ujar Marco.
Sayangnya, perkembangan ekonomi Depok lebih kepada pembangunan real estate yang justru berorientasi kepada pasar Jakarta. Meski untuk hal-hal tertentu Jakarta masih dibutuhkan seperti mengekspor barang melalui Pelabuhan Tanjung Priok atau ke Bandara Cengkareng.
Hal lain yang penting juga untuk dibenahi adalah sistem transportasi hemat energi, murah, ramah lingkungan antara Depok dan Jakarta atau pun antarkawasan penyangga seperti Depok-Bekasi, Depok-Bogor, Depok-Tangerang.
Sementara itu, Staf pengajar Tata Ruang Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Universitas Indonesia, Tarsoen Wiryono, mengatakan Depok belum bisa dipaksa berlari lebih cepat, karena masih muda. Pertumbuhannya yang diawali sebagai kota administratif cenderung untuk menampung permukiman. Padahal, Depok memiliki potensi fisik yang relatif lebih baik dibanding kota penyangga lainnya.
Keberadaan Universitas Indonesia sebagai lembaga pendidikan berpengaruh, seharusnya dimanfaatkan oleh kota secara maksimal. Tidak hanya dijadikan sebagai latar belakang dalam pembentukan slogan kota "Depok sebagai kota pendidikan".
"Kota ini cenderung berkembang sebagai kawasan permukiman bukan kawasan pendidikan. Sebab, biaya pendidikan di sini jauh lebih mahal ketimbang di Bogor dan sekitarnya. Karena UI terkoneksi dengan Jl Raya Margonda sebagai sentra bisnis kota. Hal ini yang menyebabkan pendidikan biaya tinggi. Sementara spirit kota pendidikan justru dapat diakses oleh semua kalangan, secara mudah dan murah," jelas Tarsoen.
Ia setuju dengan gagasan pendayagunaan riset yang harus dikapitalisasi menjadi lebih bernilai ekonomis. Dan Depok memiliki Sumber Daya Alam yang dapat mendukungnya. Antara lain Sumber Daya Alam berupa potensi perairan. Di sini terdapat 26 situ yang bisa dikembangkan dengan lebih baik dalam sebuah cetak biru komersial.
"Dengan mengacu kepada UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang, maka ke-26 situ tersebut dapat dimanfaatkan lebih maksimal sebagai destinasi wisata perairan. Sehingga keberadaannya bisa menjadi basis ekonomi kota. Sayangnya, Depok tidak punya grand design untuk mengembangkan wilayahnya," imbuh Tarsoen.