Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Depok Dalam Angka, Potret Ketidakcerdasan Pengelola Kota

Kompas.com - 14/09/2013, 13:52 WIB
Latief,
Tabita Diela

Tim Redaksi

DEPOK, KOMPAS.com - Kini, berbincang santai dan nyaman sembari menyeruput kopi hangat di Kota Depok tidak lagi sama dengan beberapa dekade lalu. Sejak ditetapkan sebagai Kotamadya sesuai UU No. 15 tahun 1999, kota ini telah berubah, mengikuti dinamikanya. 

Pusat perbelanjaan, ruko, apartemen, dan perumahan berdiri nyaris di setiap sudut kota. Kenyamanan mana lagi yang bisa diharapkan dari sebuah entitas yang punya relasi erat dengan Jakarta ini?

Depok berubah menjadi kota yang kian kompleks seiring pembangunan fisik, terutama properti dan pertumbuhan populasi yang melebihi daya dukungnya. Kemacetan menjadi pemandangan sehari-hari, banjir di beberapa lokasi, gersang dan semrawut.

Masalah kian berat kala jumlah populasi mengalami pertumbuhan pesat, meleset dari proyeksi tahunan. Menurut hasil Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) 2012, jumlah penduduk kota ini telah mencapai 1.898.576 jiwa dengan densitas pada angka 9.479 jiwa per kilometer persegi.

Terdapat pertambahan penduduk sebanyak 159.997 jiwa dari tahun 2010. Sementara tahun   2005, kota ini dihuni oleh 1.374.522 orang dengan kepadatan mencapai 6.863 jiwa/km2. Ini artinya, selama lima tahun jumlah penduduk membengkak sebanyak 364.048 orang.

Dengan mengabaikan berbagai faktor dan hanya melihat dari data, rerata pertumbuhan penduduk selama lima tahun tersebut adalah 72.809 orang setiap tahunnya. Sementara, sejak 2010 hingga 2012, rerata pertambahan sebanyak 79.998 orang.

Dengan penambahan sebanyak ini, sesaknya Kota Depok memang terkonfirmasi. Pemerintah Kota Depok dalam situs resminya mencatat, peningkatan jumlah penduduk disebabkan oleh tingginya arus migrasi urban. Hal ini tampak dari pesatnya pembangunan hunian berikut ruang komersialnya yang dilakukan secara sporadis, cenderung tidak tertata.

Pengamat perkotaan, Marco Kusumawijaya, menilai, Depok dalam tataran realita telah mengalami diskoneksi (keterputusan) dengan sumber-sumber daya yang dimilikinya. Kota ini terlalu berorientasi pada Jakarta, namun abai mengelola potensi yang justru bisa dijadikan nilai tambahnya.

Salah satu potensi tersebut tergambar pada pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada tahun 2012 IPM kota dengan 11 kecamatan ini sebesar 79,49. Angka ini merupakan IPM tertinggi di Jawa Barat dan urutan ke-3 di tingkat nasional.

"Siapa tidak kenal Universitas Indonesia (UI)? Perguruan Tinggi terbesar dan paling populer di Negara ini, menyimpa periset-periset dan dosen andal. UI harusnya bisa menghasilkan lebih dari sekadar periset, melainkan pekerja-pekerja kreatif. Merekalah yang seharusnya berkontribusi menyumbangkan gagasan, pemikiran sekaligus produk yang ramah industri dan kapital sehingga bernilai ekonomis," papar Marco kepada Kompas.com, Jumat (13/9/2013).

Bila itu dilakukan sejak lama, lanjut Marco, sudah dari dulu Depok tumbuh sebagai kota modern yang dapat menghidupi dirinya sendiri sekaligus mengakomodasi kebutuhan masyarakatnya. Kota ini bisa berlari pesat lebih dari sekadar memiliki sepuluh 21 pusat belanja, 12 perguruan tinggi, 26 situ maupun angka partisipasi kerja yang mencapai 63 persen (data Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Depok 2011).

Menurut Staf Pengajar Departemen Geografi FMIPA, Universitas Indonesia, Tarsoen Wiryono, Depok dapat dikembangkan lebih baik lagi dengan desain lebih besar ketimbang sebagai "Kota  yang Maju dan Sejahtera" sebagaimana slogan yang kerap didengungkan.

"Kota yang dilengkapi economic base yang sesuai dengan kapasitas sumber daya alam dan sumber daya manusianya yang harus dikembangkan Pemerintah Kota. Sayangnya, Depok tidak cerdas melihat potensi ini. Sampai sekarang tidak ada cetak biru akan di bawa kemana arah pengembangan Depok ke depan," jelas Tarsoen.


 

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau