Budi Suwarna
Waktu makan siang telah tiba. Kami makan nasi padang di rumah Gunawan Wijaya (65) di sebuah bangunan tua di Desa Cipari, Kecamatan Panongan, Banten. ”Kamu tahu bangunan ini dulunya apa? Ini kandang kebo,” ujar Gunawan sambil tersenyum.
Setelah lama memerhatikan, kami baru yakin, bangunan ini benar-benar kandang kebo atau kerbau. Celah lebar itu tidak lain tempat kerbau menjulurkan kepalanya untuk meraih makanan.
Menurut Gunawan, kandang kebo itu telah berusia 105 tahun. Dia membelinya dari seseorang di Sewan. ”Awalnya saya bingung, kandang ini mau saya apakan. Lalu, saya jadikan saja gubuk untuk makan,” tambah Gunawan yang 39 tahun berbisnis kayu dan barang antik.
Di tangan laki-laki yang lebih suka disebut tukang kayu itu, kandang kebo pun menjadi indah. Di bawah atap yang dibiarkan tanpa eternit, dia gantungkan berderet lonceng kayu ukuran besar yang biasa dipasang di leher sapi atau kerbau.
Lantainya dilapisi ubin bekas. Dan, di atas lantai itu berserakan berbagai mebel kayu, barang-barang antik, musik China, dan beberapa lukisan. ”Ini tempat favorit saya. Saya suka bikin makan-makan di kandang kebo ini bersama teman-teman,” ujar Gunawan.
Kandang kebo hanyalah satu dari beberapa bangunan yang ada di rumah Gunawan. Masih ada tujuh bangunan kayu lainnya yang dibangun terpisah-pisah di tanah seluas 7.000 meter persegi. Tepat di depan kandang kebo, berdiri rumah kayu khas China Benteng (peranakan Tionghoa di Tangerang). Seperti lazimnya rumah China Benteng, di depan pintu masuk ada altar untuk tempat sembahyang dan menempatkan abu leluhur. Lebih ke dalam ada ruang antara dan kamar di sebelah kanan.
Ke dalam lagi, ada ruang besar yang berbatasan dengan dapur di sebelah kiri. ”Pengaturannya sesuai dengan pakem rumah China Benteng, termasuk ada kandang kebo di sebelah kiri,” ujar Gunawan.