JAKARTA, KOMPAS.com - Kepemilikan enam girik hingga tujuh buah girik di atas satu bidang tanah di Jakarta perlu menjadi perhatian masyarakat.
Oleh karena itu, masyarakat yang masih memiliki girik harus meningkatkan hak atas tanahnya menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM).
Seperti yang disampaikan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid, masalah tersebut turut menyulitkan Kementerian ATR/BPN ketika ingin menyelesaikan konflik pertanahan.
Baca juga: Jangan Sampai Tumpang Tindih, Begini Cara Konversi Girik Jadi SHM
"Sehingga kita kadang kesulitan menentukan mana yang asli. Setiap lurah berganti, menerbitkan dokumen baru. Lurah yang baru lagi, terbitkan dokumen baru lagi. Akhirnya, muncul sengketa dan konflik yang berkepanjangan. Ini dari sisi yuridis," jelasnya.
Menurut Kepala Biro Hubungan Masyarakat (Humas) Kementerian ATR/BPN Harison Mocodompis menuturkan, masyarakat sekarang juga bisa cek syarat yang dibutuhkan terkait permohonannya dan berapa estimasi biayanya dari aplikasi Sentuh Tanahku.
"Di aplikasi ini juga pemilik tanah bisa mengecek alur berkasnya yang sudah masuk dan diproses di Kantah," terang Harison, beberapa waktu lalu.
Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (Dirjen PHPT) Kementerian ATR/BPN, Asnaedi pernah mengatakan, sejak dahulu girik, verponding, dan bekas hak lama lainnya sebetulnya bukan merupakan alat bukti kepemilikan tanah.
"Melainkan dapat menjadi petunjuk adanya bekas kepemilikan hak atau hak adat atas sebidang tanah," ujar Asnaedi.
Adapun girik pertama kali dibuat pada masa kolonial Belanda, sekitar tahun 1830-an.
Meskipun masih ada yang menggunakannya, girik kini telah digantikan oleh dokumen lain yang lebih kuat secara hukum, yaitu SHM dan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB).
Baca juga: Apa Itu Girik, Dokumen Disebut Nusron Tumpang Tindih di Jakarta?
Surat girik biasanya diterbitkan oleh kepala desa atau lurah sebagai bukti penguasaan lahan untuk keperluan perpajakan, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Dokumen ini mencantumkan nomor girik atau letter C, luas tanah, nama pemilik hak atas tanah (berdasarkan warisan atau jual beli).
Girik umumnya diperoleh melalui warisan atau penguasaan lahan secara turun-temurun dari keluarga.
Bisa juga diperoleh dari transaksi dengan bukti akta jual beli (AJB) atau surat keterangan dari desa.
Selain itu, girik juga bisa didapatkan dari penguasaan berdasarkan hukum adat setempat.